Selasa, 15 Januari 2008

Kasus Dumping Kertas Indonesia-Korea

Pendahuluan

Seiring dengan bertambahnya aktor-aktor diluar negara yang bermain dalam panggung internasional dewasa ini, meningkatkan pula intensitas terbentuknya koalisi kerjasama dan juga memicu persaingan. Kepentingan-kepentingan nasional dan pribadi memicu koalisis kerjasama tidak hanya ditingkat aktor negara namun juga di tingkat individu seperti perusahaan multi national cooperation (MNC) atau kerjasama yang terbentuk antar non-government organizations (NGOs) yang tentunya terdiri dari berbagai bidang tidak hanya politik, namun juga dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya dalam cakupan internasional ataupun nasional. Dalam kerjasama yang terbentuk ini tidak jarang mengakibatkan selisih atau tindakan wanprestasi yang dilakukkan oleh salah satu pihak yang disebabkan oleh kepentingannya yang tidak terpenuhi dari suatu kerjasama tersebut ataupun untuk mendukung tingkat persaingannya. Hal ini memicu badan yang sebelumnya mewadahi kerjasama tersebut meningkatkan fungsinya untuk membantu menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa ekonomi merupakan suatu bidang yang sangat penting bagi kelangsungan hidup suatu negara, karenanya untuk meningkatkan tingkat perekonomian negaranya Negara cenderung untuk meningkatkan kerjasama internasional dengan bergabung dengan World Trade Organization (WTO) dan meningkatkan kerjasama bilateral melalui MNC-nya ataupun melakukan pembangunan ekonomi domestic dengan pemberian subsidi ataupun kebijakan ekonomi untuk mengatur perekonomiannya. Hal inilah yang melahirkan konflik dalam hubungan Negara-negara yang masing-masing berupaya untuk mengejar kepentingan nasionalnya dan ini yang mendorong WTO khususnya apabila pihak yang berselisih merupakan anggota dari WTO, melalui Dispute Settlement Body (DSB)nya membantu menyelesaikan masalah-masalah tersebut.





Masalah Dumping Indonesia-Korea
Negara-negara berkembang pada umumnya akan membantu industri domestiknya melalui subsidi atau kebijakkan ekonomi berupa hambatan tariff atau non tariff untuk memasukkan industrinya ke persaingan internasional apalagi dalam era Globalisasi teknologi dan informasi seperti sekarang ini, Negara atau pemerintah akan berusaha mendorong industrinya untuk bersaing di pasar internasional dan untuk bersaing perlu berbagai perbaikkan kualitas baik tenaga kerja ataupun produk. Indonesia sebagai Negara berkembang pada umumnya akan memilih suatu perusahaan domestic untuk di subsidi khususnya industri yang benar-benar menjadi ekspor Indonesia. Dan selain itu, Indonesia juga mengambil kebijakkan ekonomi seperti penetapan batasan impor, hambatan tariff dan non tariff dan kebijakan lainnya. Sama seperti negara lainnya, Korea yang ingin saya soroti disini juga menetapkan kebijakan ekonomi anti dumping untuk melindungi Industri domestiknya. Kali ini yang menjadi sasaran negara yang melakukkan dumping adalah Indonesia.

Kerangka Pemikiran
Sebelum memasuki pembahasan lebih lanjut perlu kita lihat apa saja yang menjadi kerangka pemikiran untuk melihat masalah ini.
Dalam industri pulp dan kertas campur tangan pemerintah telah menimbulkan akumulasi kekuatan pasar. Konsentrasi pasar untuk kertas industri meningkat dari 37 persen menjadi 90 persen antara 1985 dan 1995, sedangkan rasio konsentrasi untuk pulp, bahan baku utama dari kertas industri, secara konsisten selalu diatas 90 persen. Pelaku pasar tertentu di sektor kertas dan pulp telah mendapat keuntungan yang besar dari perlakukan khusus oleh pemerintah di masa yang lalu. Sebagai contoh, perusahaan kertas PT Kiani Kertas mendapat Rp 250 miliar (US$ 180.70 juta) dari Dana Reboisasi untuk membangun pabrik puld dan kertas dari PT Kiani Lestari Pulp, yang dibukan awal 1997. Pinjaman ini merupakan 20 persen dari investasi total. Bunganya adalah sebesar 6.7 persen dan untuk jangka waktu delapan tahun, termasuk tiga tahun grace period.[1]
Begitu juga kebijakkan pemerintah pada masa orde baru memilih dan mempermudah perusahaan PT Indah Kiat dari Sinar Mas Group menguasai industri kertas dari hulu ke hilir. PT Indah Kiat menguasai hutan industri dan menghasilkan barang mulai dari pulp sampai ke buku tulis, amplop, kertas komputer, kertas fotokopi, dan barang-barang kertas lainnya. Selain itu, dua anak perusahaan Sinar Mas, PT Pindo Deli dan PT Paper Onward Utama, menguasai industri kertas tisu. Dari sini dapat kita lihat bahwa sektor industri kertas sangat dilindungi terhadap persaingan asing dalam bentuk tarif impor; tingkat proteksi efektif untuk barang-barang kertas pada tahun 1995 adalah 41 persen.[2]
Untuk mengantisipasi terjadinya perselisihan dan kesalahan interpretasi, akibat tindakan proteksi yang dilakukkan suatu negara dalam mendorong perekonomiannya, maka WTO membuat aturan untuk penerapan subsidi mengingat masalah ini merupakan masalah yang sering terjadi terkait masalah dumping dan terdapat dua macam aturan subsidi atau dukungan:[3]
1. Dukungan atau subsidi yang membuat distorsi (trade distorting subsidies) dimana negara anggota harus menetapkan level maksimum dan kemudian menguranginya pada tingkat yang diperbolehkan;
2. Subsidi yang dianggap tidak mendistorsi atau non trade distorting sering disebut sebagai Green Box, tidak ada jumlah maksimum yang ditentukan, sehingga Negara anggota boleh menambah tanpa batas. Green Box merupakan pembayaran untuk misalnya perlindungan lingkungan dan penelitian.
Dalam subsidi yang mendistorsi atau Trade Distorting Subsidies (TDS) terdapat tiga kategori:[4]
1. AMS – aggregate measurement support atau sering disebut Amber Box, ini berkaitan dengan intervensi harga dan dimasukkan sebagai yang paling mendistorsi.
2. De minimis, ini diperbolehkan sampai tingkat tertentu yang dihitung dari persentase dari nilai produksi.
3. Blue Box, subsidi jenis ini dianggap mendistorsi tapi tidak sebesar Amber Box.
Selain aturan-aturan tersebut, WTO sendiri juga telah membentuk Dispute Settlement Body (DSB) untuk mengantisipasi penyelesaian masalah yang terjadi diantara anggota-anggotanya.
Masalah terkait dengan pemberian subsidi dan kebijakkan proteksi adalah Dumping. Dumping terjadi apabila produk-produk impor tersebut dijual dengan harga lebih rendah daripada harga yang berlaku di pasaran. Untuk menerapkan anti dumping, badan perdagangan suatu Negara harus membuktikan terlebih dahulu bahwa dumping tersebut menyebabkan kerugian terhadap industri di negaranya. Mengingat relatif tingginya kasus dumping, hendaknya negara mencermati dan mengantisipasi serta menghindari kemungkinan adanya tuduhan dumping tersebut. Masalah ini adalah masalah yang sangat sering ditemui seperti di India terbukti melakukan tuduhan dan penyelidikan antidumping atas 425 kasus, di mana 316 kasus dikenakan BMAD, AS melakukan penyelidikan atas 366 kasus dan mengenakan BMAD terhadap 234 kasus. Sementara itu, China melakukan penyelidikan atas 125 kasus di mana 70 kasus di antaranya dikenai BMAD. Turki juga menyelidiki tuduhan praktek dumping 101 kasus bagi pengenaan 86 kasus BMAD. Sementara itu, Korsel mengenakan BMAD terhadap 46 kasus dari 81 kasus dumping yang diselidikinya.[5]
Dumping dalam hal ini merupakan suatu tindakan melanggar kesepakatan yang telah disepakati dan diratifikasi oleh subyek hukum Internasional. Yang dimaksud subyek hukum internasional disini adalah semua subyek hukum yang mengatur aspek-aspek ekonomi baik yang sifatnya nasional maupun internasional (termasuk hukum internasional publik dan hukum perdata).[6] Yang merupakan subyek hukum disini adalah negara yang harus memenuhi syarat sebagai negara yakni memiliki penduduk, wilayah, pemerintah yang berdaulat, dan kemampuan melakukan hubungan diplomatik dengan negara lain[7], Individu yang statusnya tergantung kepada isi ketentuan perjanjian yang memberikan kedudukan tersebut karena kemampuan individu untuk membuat kontrak atau perjanjian ekonomi (bisnis) dengan subyek hukum lainnya, selain itu Multi national Cooperation (MNCs) dan Organisasi Internasional (OI) yang memiliki definisi yang melekat pada dirinya untuk menjadi subyek hukum internasional selain memiliki legal personality yakni kemampuan untuk melakukan perjanjian atau kontrak dengan seubyek hukum lainnya.
Mengingat dumping terjadi antar anggota WTO yang terdiri dari negara-negara berdaulat berarti terjadi pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah ditetapkan di WTO yang menjadi aturan bagi para anggota WTO untuk bertindak mengingat semua yang mengajukan diri untuk menjadi anggota WTO harus menaati kesepakatan tersebut. Kesepakatan yang terbentuk antar dua pihak atau lebih merupakan sumber hukum internasional yang dapat menjadi sumber Hukum Ekonomi Internasional menurut Pasal 38 Ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional selain kebiasaan inetrnasional, prinsip hukum yang diakui oleh negara bangsa, keputusan para hakim dan ajaran ahli hukum.[8]

Kasus Indonesia-Korea
Daftar Produk Ekspor Indonesia yang Terkena Tuduhan Dumping[9]
No
Negara Penuntut
Produk Ekspor
Posisi
1
Afrika Selatan
Glass Block
Polyethylene Terephthalate (PET)
Drawn and Float Glass
Sedang dalam proses Preeliminary Determination Preeliminary Determination
2
Australia
Clear Float Glass
Low Linear Density Polythelene
Sedang dalam proses Akan dibawa ke WTO
3
Amerika Serikat
Lined Paper School Supplies
Sedang dalam proses
4
Argentina
Sepeda
Sedang dalam proses
5
China
Octanol
Sedang dalam proses
6
Malaysia
PET
Dikenakan BMAD
7
Thailand
Glass block
Dikenakan BMAD
8
Turki
PET
Laminated Parquet
Sedang dalam proses Sedang dalam proses
9
Selandia Baru
Oil Filters
Dikenakan BMAD namun sedang proses naik banding di Selandia Baru
10
Uni Eropa
Syntetic Staple Fibers of Polyester (PSF)
Tahap peninjauan
11
Korea
woodfree copy paper
Dimenangkan oleh Indonesia

Indonesia merupakan salah satu Negara yang sering menerima tuduhan dumping sejak 2000 sampai Mei 2004 tercatat 102 kasus tuduhan dumping, subsidi, dan safeguard yang dituduhkan negara mitra dagang Indonesia. Dari jumlah tersebut pihak Indonesia berhasil mematahkan 40 kasus, sebanyak 49 kasus dikenakan tuduhan, sebanyak 11 kasus dalam proses dan dua kasus dibatalkan. Dengan berhasil mematahkan tuduhan dumping, subsidi dan safeguard, Indonesia pada 2003 dapat menyelamatkan devisa ekspor sebesar 136,2 juta dolar AS. [10]
Salah satu kasus yang terjadi antar anggota WTO yang akan saya soroti adalah kasus antara Korea dan Indonesia, dimana Korea menuduh Indonesia melakukan dumping woodfree copy paper ke Korsel sehingga Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar. Tuduhan tersebut menyebabkan Pemerintah Korsel mengenakan bea masuk anti dumping (BMAD) sebesar 2,8 persen hingga 8,22 persen terhitung 7 November 2003. dan akibat adanya tuduhan dumping itu ekspor produk itu mengalami kerugian. Ekspor woodfree copy paper Indonesia ke Korsel yang tahun 2002 mencapai 102 juta dolar AS, turun tahun 2003 menjadi 67 juta dolar.[11]
Karenanya, Indonesia harus melakukan yang terbaik untuk menghadapi kasus dumping ini, kasus ini bermual ketika industri kertas Korea mengajukan petisi anti dumping terhadap 16 jenis produk kertas Indonesia antara lain yang tergolong dalam uncoated paper and paperboard used for writing dan printing or other grafic purpose[12] produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commision (KTC) pada tanggal 30 september 2002 dan pada 9 mei 2003, KTC mengenai Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sementara dengan besaran untuk PT pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar 51,61%, PT Pindo Deli 11,65%, PT Indah Kiat 0,52%, April Pine dan lainnya sebesar 2,80%. Namun, pada 7 November 2003 KTC menurunkan BM anti dumping terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel dengan ketentuan PT Pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat diturunkan sebesar 8,22% dana untuk April Pine dan lainnya 2,80%. Dan Indonesia mengadukan masalah ini ke WTO tanggal 4 Juni 2004 dan meminta diadakan konsultasi bilateral, namun konsultasi yang dilakukan pada 7 Juli 2004 gagal mencapai kesepakatan.[13]
Karenanya, Indonesia meminta Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) membentuk Panel dan setelah melalui proses-proses pemeriksaan, maka DSB WTO mengabulkan dan menyetujui gugatan Indonesia terhadap pelanggaran terhadap penentuan agreement on antidumping WTO dalam mengenakan tindakan antidumping terhadap produk kertas Indonesia.[14] Panel DSB menilai Korea telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktek dumping produk kertas dari Indonesia dan bahwa Korea telah melakukan kesalahan dalam menentukan bahwa industri domestik Korea mengalami kerugian akibat praktek dumping dari produk kertas Indonesia.

Analisis Kasus

International economic law can be defines as including all legal subjects which have both an international and an economic components
John H. Jackson

Berdasarkan pernyataan John H. Jackson dapat disimpulkan bahwa hukum ekonomi internasional terdiri dari komponen hukum, ekonomi dan tentunya dalam cakupan Internasional.
Dalam kasus ini, dengan melibatkan beberapa subyek hukum internasional secara jelas menggambarkan bahwa kasus ini berada dalam cakupan internasional yakni dua negara di Asia dan merupakan anggota badan internasional WTO mengingat keduanya merupakan negara yang berdaulat. Dan kasus dumping yang terjadi menjadi unsur ekonomi yang terbungkus dalam hubungan dagang internasional kedua Negara dengan melibatkan unsur aktor-aktor non negara yang berasal dari dalam negeri masing-masing negara yaitu perusahaan-perusahaan yang disubsidi oleh pemerintah untuk memproduksi produk ekspor. Dumping merupakan suatu tindakan menjual produk-produk impor dengan harga yang lebih murah dari harga dan ini merupakan pelanggaran terhadap kesepakatan WTO. Indonesia meminta bantuan DSB WTO dan melalui panel meminta agar kebijakan anti dumping yang dilakukan korea ditinjau kembali karena tidak konsisten dengan beberapa point artikel kesepakatan seperti artikel 6.8 yang paling banyak diabaikandan artikel lainnya[15] dan Indonesia juga meminta Panel terkait dengan artikel 19.1 dari Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU) untuk meminta Korea bertindak sesuai dengan kesepakatan GATT dan membatalkan kebijakan anti dumping impor kertas yang dikeluarkan oleh mentri keuangan dan ekonominya pada tanggal 7 november 2003.[16]
Yang menjadi aspek legal disini adalah adanya pelanggaran terhadap artikel kesepakatan WTO khususnya dalam kesepakatan perdagangan dan penentuan tariff seperti yang tercakup dalam GATT dan dengan adanya keterlibatan DSB WTO yang merupakan suatu badan peradilan bagi permasalahan-permasalahan di bidang perdagangan. Ini menegaskan bahwa masalah ini adalah masalah yang berada di cakupan Internasional, bersifat legal dan bergerak dalam bidang ekonomi. Sifat legal atau hukumnya terlihat juga dengan adanya tindakan Retaliasi oleh pemerintah Indonesia karena Korea dinilai telah bertindak ‘curang’ dengan tidak melaksanakan keputusan Panel Sementara DSB sebelumnya atas kasus dumping kertas tersebut yang memenangkan Indonesia dimana retaliasi diijinkan dalam WTO. Sekretaris Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Departemen Perdagangan mengatakan dalam putusan Panel DSB pada November 2005 menyatakan Korsel harus melakukan rekalkulasi atau menghitung ulang margin dumping untuk produk kertas asal Indonesia. Untuk itu, Korsel diberikan waktu untuk melaksanakan paling lama delapan bulan setelah keluarnya putusan atau berakhir pada Juli 2006. Panel DSB menilai Korsel telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktik dumping kertas dari Indonesia. Pengenaan tuduhan dumping kertas melanggar ketentuan antidumping WTO. Korea harus menghitung ulang margin dumping sesuai dengan hasil panel maka ekspor kertas Indonesia ke Korsel kurang dari dua persen atau deminimis sehingga tidak bisa dikenakan bea masuk antidumping.
Panel Permanen merupakan panel tertinggi di WTO jika putusan Panel Permanen juga tidak ditaati oleh Korsel, Indonesia dapat melakukan retaliasi, yaitu upaya pembalasan atas kerugian yang diderita. Dalam retaliasi, Indonesia dapat mengenakan bea masuk atas produk tertentu dari Korsel dengan nilai kerugian yang sama selama pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD). Korean Trade Commision yang merupakan otoritas dumping Korsel mengenakan BMAD 2,8-8,22 persen terhadap empat perusahaan kertas, seperti yang telah disebutkan diatas yaitu PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia, PT Pindo Deli Pulp & Paper Mills, PT Indah Kiat Pulp & Paper, dan PT April Fine sejak 7 November 2003. Dalam membuat tuduhan dumping, KTC menetapkan margin dumping kertas dari Indonesia mencapai 47,7 persen. Produk kertas yang dikenakan BMAD adalah plain paper copier dan undercoated wood free printing paper dengan nomor HS 4802.20.000; 4802.55; 4802.56; 4802.57; dan 4809.4816.[17]
Dalam kasus ini, Indonesia telah melakukan upaya pendekatan sesuai prosedur terhadap Korsel. Pada 26 Oktober 2006 Indonesia juga mengirim surat pengajuan konsultasi. Selanjutnya, konsultasi dilakukan pada 15 November 2006 namun gagal. Korea masih belum melaksanakan rekalkulasi dan dalam pertemuan Korea mengulur-ulur waktu. Tindakan Korsel tersebut sangat merugikan industri kertas Indonesia. Ekspor kertas ke Korsel anjlok hingga 50 persen dari US$ 120 juta. Kerugian tersebut akan berkepanjangan sebab Panel juga menyita waktu cukup lama, paling cepat tiga bulan dan paling lama enam bulan.







Kesimpulan
Masalah Dumping merupakan masalah ekonomi yang dapat dimasukkan kedalam kasus hukum ekonomi internasional seperti kasus dumping Korea-Indonesia yang dimenangkan Indonesia. Namun untuk menghadapi kasus-kasus dumping yang belum terselesaikan sekarang (lihat table hal.5) maka indonesia perlu melakukkan antisipasi dengan pembuatan Undang-Undang (UU) Anti Dumping untuk melindungi industri dalam negeri dari kerugian akibat melonjaknya barang impor. Selain itu, diperlukan penetapkan Bea Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS) dalam rangka proses investigasi praktek dumping (ekspor dengan harga lebih murah dari harga di dalam negeri) yang diajukan industri dalam negeri. selama ini, Indonesia belum pernah menerapkan BMADS dalam proses penyelidikan dumping apapun padahal negara lain telah menerapkannya pada tuduhan dumping yang sedang diproses termasuk kepada Indonesia. Padahal hal ini sangat diperlukan seperti dalam rangka penyelidikan, negara yang mengajukan petisi boleh mengenakan BMADS sesuai perhitungan injury (kerugian) sementara. Jika negara eksportir terbukti melakukan dumping, maka dapat dikenakan sanksi berupa BMAD sesuai hasil penyelidikan. Karenannya, pemerintah harus mengefektifkan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) yang merupakan institusi yang bertugas melaksanakan penyelidikan, pengumpulan bukti, penelitian dan pengolahan bukti dan informasi mengenai barang impor dumping, barang impor bersubsidi dan lonjakan impor.











Lampiran

III. PARTIES' REQUESTS FOR FINDINGS AND RECOMMENDATIONS
A.
INDONESIA
3.1
Indonesia requests the Panel to find that in imposing the anti-dumping duty at issue, Korea acted inconsistently with its obligations under:
(a)
Article 6.8 of the Agreement by rejecting domestic sales information submitted by the Indonesian exporters Indah Kiat and Pindo Deli, and the CMI financial statements, and instead resorting to facts
available to determine normal value for these exporters;
(b)
Article 6.8 and paragraph 3 of Annex II of the Agreement by failing to follow the requirements of paragraph 3 in rejecting the domestic sales information submitted by Indah Kiat and Pindo Deli, and the CMI financial statements and resorting to facts available to determine normal value for these exporters;
(c)
Article 6.8 and paragraph 6 of Annex II of the Agreement by failing to inform the exporters forthwith of the reasons why the domestic sales information of Indah Kiat and Pindo Deli, and the CMI financial statements, were being rejected and by failing to provide the exporters with an opportunity to provide further explanations within a reasonable period of time;
(d)
Article 6.8 and paragraph 7 of Annex II of the Agreement by failing to use special circumspection in using information from secondary sources in the determination of normal value for Indah Kiat and Pindo Deli.
(e)
Article 6.8 and paragraph 7 of Annex II of the Agreement by failing to use special circumspection in using information from secondary sources to determine the dumping margins for Tjiwi Kimia.
(f)
Article 6.8 and paragraph 6 of Annex II of the Agreement by failing to provide Indah Kiat and Pindo Deli with an opportunity to provide further explanations regarding Tjiwi Kimia within the meaning of
paragraph 6.
(g)
Article 2.2 of the Agreement by failing to comply with the requirements of Article 2.2 in determining the normal values for Indah Kiat and Pindo Deli.
(h)
Articles 2.2, 2.2.1.1, 2.2.2. and 2.4 of the Agreement by improperly calculating constructed values for Indah Kiat and Pindo Deli, resulting in an unfair comparison with export price for these exporters.
(i)
Article 2.4 of the Agreement by failing to make due allowance for differences affecting price comparability between export prices and normal values for Indah Kiat and Pindo Deli.
(j)
Articles 6.10 and 9.3 of the Agreement by failing to determine an individual margin of dumping for Indah Kiat, Pindo Deli, and Tjiwi Kimia, resulting in the imposition of dumping duties in excess of the margin of dumping established under Article 2.
(k)
Article 5.8 of the Agreement by failing to terminate the investigation of Indah Kiat when it failed to find dumping by that exporter.
(l)
Article 6.7 of the Agreement by failing to provide Indah Kiat and Pindo Deli with the results of the on-site verification of those exporters.
(m)
Articles 6.4, 6.9 and 12.2 of the Agreement by failing to disclose to the exporters how it determined normal value, including the amounts used to arrive at the constructed value.
(n)
Articles 2.6, 3.1, 3.2, 3.4, 3.5, and 3.7 of the Agreement by defining PPC and WF paper as a single like product and reaching its injury determinations based on that definition.
(o)
Articles 3.1, 3.2 and 3.4 of the Agreement by failing to base its analysis of the price and volume effects of the imports under investigation on positive evidence or involve an objective determination and by improperly finding significant price undercutting within the meaning of Article 3.2.
(p)
Articles 3.1 and 3.4 of the Agreement by failing to properly consider all relevant injury factors.
(q)
Articles 3.1 and 3.5 of the Agreement by failing to properly establish a causal link between any injury suffered by the Korean industry and by failing to properly examine other known factors to ensure that
injury caused by those factors was not attributed to the imports under investigation.
(r)
Articles 3.1, 3.4 and 3.5 of the Agreement by failing to consider the effect of the Korean industry's own imports in the injury and causation analyses.
(s)
Articles 3.1, 3.2 and 3.5 of the Agreement by treating imports from Indah Kiat as dumped imports for the purpose of the injury analysis.
(t)
Articles 6.1 and 6.9 of the Agreement by failing to establish a proper period of investigation of injury.
(u)
Articles 6.2, 6.4 and 12.2 of the Agreement by failing to provide the exporters with information regarding its like product determination.
(v)
Articles 6.4 and 6.9 of the Agreement by failing to disclose the basis of its material injury determination.
(w)
Article 6.5 of the Agreement by granting confidential treatment to information contained in the domestic industry's application without a showing of good cause or requiring non-confidential summaries.
(i)
Article 1 of the Agreement by not ensuring that an anti-dumping measure is applied only under the circumstances provided for in Article VI of the GATT and pursuant to investigations initiated and conducted in accordance with the provisions of the Agreement.
3.2
Indonesia requests the Panel to recommend, in accordance with Article 19.1 of the DSU, that the DSB request Korea to bring its measure at issue into conformity with the GATT and with the Anti dumping Agreement by repealing Regulation No. 330 of the Ministry of Finance and Economy dated 7 November 2003 imposing definitive anti-dumping duties on imports of certain paper products from Indonesia.


VIII. CONCLUSIONS AND RECOMMENDATIONS
8.1
In light of the above findings, we conclude that:
(a)
In respect of the KTC's dumping determination:
(i)
The KTC did not act inconsistently with Article 6.8 of the Agreement in resorting to facts available with respect to Indah Kiat and Pindo Deli,
(ii)
The KTC did not act inconsistently with Article 6.8 of the Agreement and paragraph 3 of Annex II in disregarding domestic sales data submitted by Indah Kiat and Pindo Deli,
(iii)
The KTC did not act inconsistently with Article 6.8 of the Agreement and paragraph 6 of Annex II with respect to informing Indah Kiat and Pindo Deli of its decision to reject their domestic sales data and giving them an opportunity to provide further explanations,
(iv)
The KTC did not act inconsistently with Article 2.2 of the Agreement by using constructed normal values for Indah Kiat and Pindo Deli,
(v)
The KTC acted inconsistently with Article 6.8 of the Agreement and paragraph 7 of Annex II with regard to exercising special circumspection in its use of information from secondary sources instead of domestic sales data provided by Indah Kiat and Pindo Deli,
(vi)
The KTC acted inconsistently with Article 6.8 of the Agreement and paragraph 7 of Annex II, but did not act inconsistently with Article 6.8 of the Agreement and paragraph 6 of Annex II with respect to determining Tjiwi Kimia's margin of dumping,
(vii)
The KTC did not act inconsistently with Article 2.4 of the Agreement with respect to the alleged difference stemming from CMI's involvement in domestic sales of Indah Kiat and Pindo Deli, which allegedly affected price comparability,
(viii)
The KTC did not act inconsistently with Articles 6.10 and 9.3 of the Agreement by treating the three Sinar Mas Group companies as a single exporter and assigning a single margin of dumping to them,
(ix)
The KTC acted inconsistently with Article 6.7 of the Agreement with respect the disclosure of the verification results,
(x)
The KTC acted inconsistently with Article 6.4 of the Agreement with regard to disclosing details of the calculations of the constructed normal values for Indah Kiat and Pindo Deli,
(xi)
Indonesia failed to make a prima facie case with respect to its claim under Article 12.2 of the Agreement with regard to the KTC's alleged failure to disclose details of the calculations of the constructed normal values for Indah Kiat and Pindo Deli,
(xii)
The KTC did not act inconsistently with Articles 2.6, 3.1, 3.2, 3.4, 3.5 and 3.7 of the Agreement of the Agreement with respect to its like product definition,
(b)
In respect of the KTC's injury determination:
(i)
The KTC did not act inconsistently with Articles 3.1, 3.2 and 3.4 of the Agreement with respect to its price analysis,
(ii)
The KTC acted inconsistently with Article 3.4 of the Agreement with respect to its assessment of the impact of dumped imports on the domestic industry,
(iii)
The KTC did not act inconsistently with Articles 3.4 and 3.5 of the Agreement with regard to the treatment of the dumped imports made by the Korean producers from the subject countries,
(iv)
The KTC did not act inconsistently with Articles 6.2, 6.4 and 12.2 of the Agreement with respect to disclosing the results of the technical test carried out by the Korean Agency for Technology and Standards and those of a customer survey, and did not act inconsistently with Articles 6.4 and 6.9 of
the Agreement with respect to disclosing its determination concerning the effect of the prices of dumped imports on the Korean industry,
(v)
The KTC acted inconsistently with Article 6.5 of the Agreement by not requiring that good cause for confidential treatment be shown with respect to the information submitted in the application which was by nature confidential,
(c)
We decline to address the following claims on the grounds of judicial economy:
(i)
Alleged violation by the KTC of Article 5.8 of the Agreement by not terminating the investigation vis-à-vis Indah Kiat,
(ii)
Alleged violation by the KTC of its disclosure obligations under Article 6.9 of the Agreement with respect to its dumping determinations,
(iii)
Alleged violation by the KTC of Articles 3.1 and 3.5 of the Agreement with respect to its causation analysis,
(iv)
Alleged violation by the KTC of Articles 3.1, 3.2 and 3.5 of the Agreement by treating imports from Indah Kiat as dumped imports,
(v)
Alleged violation by the KTC of Article 6.9 of the Agreement with respect to disclosing the results of the technical test carried out by the Korean Agency for Technology and Standards and those of a customer survey,
(vi)
Alleged consequent violation by the KTC of Article 1 of the Agreement stemming from the violations of the provisions of the Agreement cited in connection with Indonesia's specific claims,
(d)
We do not address the following claims because they have been withdrawn by Indonesia:
(i)
Alleged violation by the KTC of Articles 6.1, 6.4 and 6.9 of the Agreement by not giving the Indonesian exporters an opportunity to see, and comment on, the data relating to the first half of 2003,
(ii)
Alleged violation by the KTC of Articles 6.4 and 6.9 of the Agreement by failing to inform the Indonesian exporters of its decision to change the basis of its injury determination from threat to material injury,
(e)
We do not address Indonesia's claim under Articles 3.1 and 3.2 of the Agreement regarding the KTC's analysis of the volume of dumped imports as we have found that claim not to be within our terms of reference.
8.2
Under Article 3.8 of the DSU, in cases where there is an infringement of the obligations assumed under a covered agreement, the action is considered prima facie to constitute a case of nullification or impairment of benefits under that agreement. Accordingly, we conclude that, to the extent Korea has acted inconsistently with the provisions of the Anti-dumping Agreement, it has nullified or impaired benefits accruing to Indonesia under that agreement. We therefore recommend that the Dispute Settlement Body request Korea to bring its measures mentioned in paragraph 8.1(a)(v), 8.1(a)(vi), 8.1(a)(ix), 8.1(a)(x), 8.1(b)(ii) and 8.1(b)(v) above into conformity with its obligations under the WTO Agreement.
[1] “Kiani Lestari Gets Reforestation Funds For Its Pulp Factory,” Jakarta Post, 25 Januari, 1997.

[2] konfrensi, yang disponsori oleh ISEI, Bank Dunia dan Univerisitas Indonesia, dalam “Jalan Menuju Sukses: Makimisasi Keuntungan dari Deregulasi,” 26-28 April 1995, Jakarta
[3] http://www.globaljust.org/news_detail.php?catagori=&id=91 diakses tanggal 5 April 2007 pukul 20.29
[4] ibid
[5]http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=477&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&pared_id=514971&patop_id=W34 diakses pada tanggal 23 maret 2007 pukul 15.47
[6] Bahan kuliah Hukum Ekonomi Internasional pertemuan pertama
[7] Ibid. Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933
[8] Bahan kuliah Hukum Ekonomi Internasional pertemuan kedua
[9] Departemen Perdagangan Oktober 2005
[10] ibid
[11] http://www.wto18604.htm diakses tanggal 9 maret 2007 pukul 11.48
[12] http://www.mediaindo.co.id/newsprint.asp?Id=79789&Jenis=a&cat_name=Polkam diakses tanggal 5 April 2007 pukul 12.38
[13]http://jkt3.detikfinance.com/index.php/detik.read/tahun/2005/bulan/10/tgl/31/time/144532/idnews/472421/idkanal/4 diakses tanggal 5 April 2007 pukul 20.36
[14] Lampiran kesimpulan DSB WTO terlampir http://www.worldtradelaw.net/reports/wtopanels/korea-paperad(panel).pdf. Diakses tanggal 7 April 2007 pukul 2.34
[15] Data terlampir. http://www.worldtradelaw.net/reports/wtopanels/korea-paperad(panel).pdf. Diakses tanggal 7 April 2007 pukul 2.34
[16] ibid
[17] http://www.sinarharapan.co.id/berita/0612/16/eko01.html diakses pada tanggal 5 April pukul 20.21

Tidak ada komentar: