Selasa, 15 Januari 2008

Alternative lain pengganti Partai Politik

Bila partai politik tidak lagi dapat diandalkan, maka (sebenarnya) institusi/lembaga apalagi yang dapat diandalkan oleh kita untuk (melakukan) perbaikan bangsa dan negara?
by: Santhi Margaretha


menurut saya, Partai politik adalah institusi dan lembaga yang tepat untuk perbaikkan bangsa mengingat dari partai politik, baru didapat perwakilan rakyat untuk memilih presiden dan perangkat kenegaraan. Hanya saja masalahnya penyelewengan yang selama ini terjadi telah merusak partai politik dan kewenangannya yang tidak hanya dibidang korupsi keuangan tapi juga korupsi di bidang kekuasaan. Seperti ketika di DPR muncul arus keinginan mengajukan hak angket atas kebijakan impor beras, Presiden menyoalkan sikap partai politik yang punya wakil di kabinet.
Dari sini dapat dilihat sistem pemerintahan sekarang ini mengalami kerancuan. Partai politik terlibat pengambilan keputusan eksekutif dengan memasang anggota-anggotanya dalam kabinet. Padahal, dalam sistem presidensial, partai politik tidak memasuki arena eksekutif. Kalaupun Presiden mengambil orang-orang dari situ, jangan dipikir lantas bisa terjadi koalisi. Berbeda dengan parlementarian, dimana terdapat governing parties dan non-governing parties. Yang ada sekarang partai asal Presiden dan Wakil Presiden biasanya menjadi pendukung pemerintah. Dengan sistem presidensial, kalau Presiden berani, mungkin pemulihan ekonomi dan pembangunan akan berjalan. Kalau Presiden ragu-ragu dan mengaku heran saat partai politik mendukung hak angket impor beras, itu yang mengherankan. Presiden harusnya tak bertanya. Wilayah partai politik di legislatif, Presiden di eksekutif.
Kekacauan yang terjadi selama ini terjadi karena :
§ Tidak ada aturan dalam sistem presidensial soal governing coalition. Perilaku politik kita masih koalisi antar kekuatan elite. Padahal koalisi menjadi kurang bermakna dalam sistem presidensial mengingat Presiden hanya akan menjabat lima tahun, tak ada instrumen menjatuhkannya kecuali hal-hal non-politis.
§ Presiden ditopang birokrat lama yang punya kepentingan yang bervariasi dan belum tentu sejalan dengan janji Presiden. Birokrat merupakan mesin lama yang bisa menjadi beban melihat birokrat kita didesain untuk melayani Presiden yang tak berganti-ganti. Ini warisan Orde Lama dan kita membutuhkan paling tidak satu lapis di birokrasi diisi orang yang bertugas menerjemahkan kebijakan Presiden dan punya kekuasaan terhadap birokrat.
§ Ada lembaga-lembaga eksekusi namun ekstra-eksekutif. Posisinya mengambang, termasuk soal pertanggungjawabannya. Padahal, dalam internal eksekutif, harus dihasilkan kebijakan yang tidak berbeda. Kalau Presiden tidak punya kekuatan ke birokrasi, kebijakannya hanya akan menjadi anjuran. Selain itu, Kita punya komisi-komisi ad hoc yang hanya menyelesaikan problem jangka pendek, namun terinstitusi dalam pemerintahan kita. Hal ini mesti diperbaiki, jika tidak, akan muncul konflik dalam supervisi Presiden. Harusnya, dalam meghadapi perbedaan, legislatif bisa mengambil posisi pro atau kontra berdasarkan policy, bukan berdasar siapa yang mengusulkan. Bisa saja kebijakan BBM didukung, namun kebijakan impor beras ditolak. Disitulah pentingnya menjalankan sistem presidensial secara konsisten. Presiden harus punya nyali, siap ditantang dan mau persuasif kalau ada perbedaan.
Dalam ketegasan tersebut, partai politik mungkin akan makin sering bersikap berbeda dengan Presiden. Partai akan mengambil jarak dan itu justru akan positif bagi demokrasi kita. Sebagai akibatnya proses perpolitikan kita akan lebih terfokus pada individu. Institusi partai politik sebagai negosiator akan berkurang sampai menjelang pemilu. Mendekati 2009, akan makin banyak orang yang berebut mengambil posisi. Tentu saja partai tetap dipakai, namun kinerja individu akan menjadi bahan kampanye, (bahan persuasi). Orang tidak akan menghadang partai, namun menghadang individu yang menjadi lawannya. Semakin mendekati 2009, proses politik kita akan semakin individualistis. Dari segi demokratisasi memang bagus, namun hal ini semakin sulit untuk memenuhi keinginan agar parpol memiliki ideologi kuat. Ideologi akan menghilang karena individu yang bermain. Garis partai tidak akan terlalu diikuti, hanya kebijakan yang menguntungkan individu (pemimpin) dan kelompoknya saja yang akan diambil. Akan ada tekanan kompetisi politik yang riil. Orang yang berada di luar akan giat berkampanye untuk menunjukkan seseorang punya masalah dan dirinya lebih baik dan lebih layak dipilih.
Harusnya, partai tidak semata-mata menjadi pengontrol aspirasi, namun menjadi semacam katalisator munculnya kader berkualitas. Kalau orang mau muncul di politik, kemunculan dari partai untuk mengambil pilihan ideologis. Namun, begitu menjadi calon, pertanggungjawabannya adalah kepada publik.
Sebenarnya, Cara modern berpolitik adalah dengan mengadu gagasan kebijakan, bukan bagaimana membakar dan mengerahkan massa sehingga rakyat lebih rasional dalam menentukan pilihan. Selama ini rakyat juga tidak pernah paham apa konsekuensinya jika mereka mendukung parpol tertentu yang ada hanya rasa puas, saluran artikulasi. Selain itu, harus dilihat juga bahwa daerah cakupannya tidak hanya terjadi di tingkat pusat, tapi juga di daerah sehingga partai politik harus juga memahami apa yang dinginkan oleh masyarakat di daerah yang secara budaya dan fisik berbeda dengan partai yang biasanya terdapat di perkotaan.
Kendalanya, masyarakat di indonesia belum sepenuhnya mengadopsi pemikiran modern dengan menggunakan cara modern berpolitik maupun metode yang baru untuk melakukan pencalonan presiden selain dari pemilu mengingat selama 60 tahun, masyarakat indonesia terbiasa dengan pemilu dan sistem perwakilan yang selama ini diselewengkan kegunaannya untuk mendapatkan income dan kekuasaan pribdi semata. Apabila kita akan mengganti sistem ini, maka akan timbul kontradiksi dengan kelompok-kelompok masyarakat mengingat persaingan yang sering kali terjadi adalah persaingan Ideologi misalnya, lembaga yang dipilih untuk memperbaiki negara adalah militer, orang-orang sipil tentunya tidak akan menerima ideologinya, bisa-bisa authokrasi orde baru terulang kembali. Kalau pihak swasta, Indonesia akan merubah orientasinya ke arah neoliberalisme dan ini hanya akan memenangkan golongan bermodal dan kaya.
Sebenarnya, pada era globalisasi sekarang, penyebaran kebebasan, informasi dan teknologi telah mengirimkan LSM-LSM yang cukup kritis yang langsung berhubungan dengan masyarakat grassroot yang harusnya dapat kita manfaatkan sebagai parther kerja untuk membentuk masyarakat yang modern dan kritis yang akan melahirkan calon pemimpin yang nantinya akan bersaing dalam partai politik yang dapat memperjuangkan keinginan masyarakat umum.
Namun, partai politik tetap menjadi pilihan yang tepat menurut saya, mengingat ia menjadi wadah bagi calon yang akan duduk dipemerintahan dan dalam pelaksanaannya dibutuhkan sistem kampanye dan pemilihan oleh masyarakat mengingat indonesia adalah suatu negara demokrasi dimana dalam negara demokrasi, partai politik menjadi komponen utamanya walaupun bukan satu-satunya. Untuk itu akan lebih baik apabila partai politik atau lembaga lembaga sosial yang ingin berpartisipasi membangun pemikiran mereka yang lebih memfokuskan pada program bukan individu melihat jika ini terus melihatnya dalam kacamata kekuasaan maka korupsi dan nepotisme akan terus terjadi. Namun, dengan mengorintasikan program dan mengkampanyekannya dalam sebuah badan partai politik yang akan bersaing secara sehat dalam pemilu yang telah diperbaruhi sistemnya, jurdil, serta bebas iming-iming dan KKN (perlu dibentuk badan pengawas yang adil dan jujur serta sistem pemerintahan dan pemimpin, individu yang berani mengorbankan kepentingannya demi kepentingan masyarakat banyak, jujur dan adil serta terlepas dari pengaruh apapun) serta perbaikkan sistem pemilihannya, sistem pemerintahan dan sistem pengaturannya, maka akan membangun indonesia yang sehat yang akan membawa kesejahteraan secara menyeluruh.

Tidak ada komentar: