Selasa, 15 Januari 2008

Bangkitnya Amerika Latin

Bangkitnya Amerika Latin
by: Santhi Margaretha





PENDAHULUAN

Pengadaan Pertemuan 118 pemimpin negara-negara yang tergabung dalam Gerakan Non Blok (GNB) di Havana, Kuba, pada tanggal 15-16 september 2006, menyuarakan sistem politik dunia yang hegemonik dan menggunakan ekonomi sebagai kekuatan penekan. Dengan demikian, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) GNB ini pun berubah menjadi “pesta pora” mengecam Amerika Serikat.
Pertemuan yang mempertemukan presiden Iran, Mahmud Achmadinejad, yang jelas-jelas anti-AS dan anti-Israel, serta presiden Siria Basha Assad yang mempunyai sikap yang sama, merupakan pertanda yang tidak menguntungkan sama sekali bagi kepentingan atau citra AS yang juga dihadiri presiden Bolivia, Evo Morales, sekutu dekat Hugo Chavez, Presiden Venezuela, membuat pertemuan di Havana ini menjadi peristiwa yang penting bagi perkembangan gerakan di dunia untuk melawan hegemoni imperialisme AS dan neo-liberalisme.[1]
Apa yang terjadi di Amerika Latin dewasa ini, merupakan perkembangan yang amat penting sekali, bahkan terpenting, sesudah terjadinya Perang Dunia ke-II dan selesainya Perang Dingin. Dengan munculnya kapitalisme yang diusung oleh Amerika Serikat ke dunia internasional, maka memicu munculnya pihak-pihak yang menentangnya. Dalam hal ini negara-negara di Amerika Latin yang mepunyai sikap akan anti Amerika Serikat. Dalam hal ini actor yang terlibat bukan hanya negara yang diwakilinya namun juga individu yang menggerakkannya.
Dapat kita lihat bahwa akhir-akhir ini Bush sangat disibukkan dengan urusan di Iraq dan perang melawan teror namun Ia tidak sadar bahwa kebobolan terbesar justru terjadi di titik terdekat jantung Amerika Serikat sendiri yakni Amerika Latin, kemenangan beberapa pemimpin Kiri di Amerika Latin mau tidak mau akan menjadi trend ancaman terhadap Amerika Serikat. Secara politik, aliansi Negara-negara Amerika Latin menuju konsolidasi yang sangat strategis seperti penolakan terhadap sistem ekonomi pasar bebas, kebijakan politik yang anti AS dipicu dengan adanya dukungan rakyat negara-negara tersebut terhadap pemimpin kiri mereka yang sangat kuat, ini bisa kita lihat dalam terpilihnya Evo Morales sebagai presiden Bolivia dengan angka kemenangan fantastis 53,899 % suara mendukung. Kemenangan Nestor Kirchner di Argentina, serta tanda-tanda kemenangan yang ditunjukkan Calon presiden Michelle Bachelet di Chili. Beberapa nama berhaluan kiri lainnya tampil dipanggung politik Amerika Latin, Lula Da Silva di Brazil, Hugo Chaves di Venezuela, Tabar Vazquez di Uruguay, Lucio Gutierea di Equador, Ollanda Humala di Peru, Andres Manuel Lopez di Meksiko, Fidel Castro di Kuba, Evo Morales di Bolivia dan Daniel Ortega di Nikaragua.
Pada kesempatan kali ini, saya akan membahas kebijakan Hugo Chavez, Fidel Castro, dan Evo Morales digambarkan sebagai tiga pemimpin yang paling vokal dalam gerakan sentimen anti Amerika Serikat ini. Hal ini menyebabkan salah satu alasan sebagai kebangkitan sosialisme di Amerika Latin sendiri dan Inilah yang akan menghantui pemerintah AS dan sekutu-sekutunya di Amerika Latin. Penyebabnya adalah pernyataan Presiden Venezuela Hugo Chaves bersama beberapa negara Amerika Latin lainnya yang mencanangkan kebangkitan Sosialisme Abad 21. Tidak seperti gerakan Revolusi Sosialisme tahun dekade tahun 1900-an yang lebih bersifat anti imperialisme dan berbau semangat nasionalis serta menggunakan kekuatan bersenjata gerilya, Gerakan kebangkitan Sosialisme yang dicanangkan negara-negara Amerika Latin lahir dari issue kemiskinan dan ketidakadilan sistem ekonomi yang dalam penilaian mereka sangat kapitalistik dan berpihak pada segelintir pemilik modal saja.[2] Sehingga dapat dimengerti bahwa terbangunnya poros anti-AS tersebut betul-betul akan merupakan tantangan besar atau bahaya nyata bagi pengaruh hegemonis AS di benua Amerika Latin.









ISI


THREATS
Penciptaan ancaman bagi AS

Menimbulkan kesatuan melawan AS

THREATS : imperialisme dan kapitalisme AS
Security
National Interest
Amerika Latin





Gerakan Anti AS


Kasus Amerika Latin akan menjadi salah satu duri terbesar Bush dalam masa pemerintahannya, pendekatan tradisional berupa operasi militer tidak akan dengan mudah digunakan oleh AS, selain tidak dimungkinkan secara politik sebab proses transisi di Amerika Latin berlangsung secara demokratis, secara geografis juga sangat menyulitkan, operasi militer ke Amerika Latin hanya akan meningkatkan ketegangan dan ancaman keamanan di Amerika Serikat, mengingat letak negara-negara tersebut sangat dekat dengan Amerika Serikat, kondisi perbatasan yang memanas akan secara langsung meningkatkan ancaman dalam negeri Amerika Serikat, bisa dibayangkan ketika negara-negara di Amerika Latin seperti Kuba misalnya, menghujani kota-kota besar di AS dengan senjata rudal jarak sedang, sejarah masih mencatat bagaimana Amerika begitu panik ketika pada tahun 1962, Uni Soviet (sekarang Rusia) mengirim kapal-kapal yang mengangkut rudal ke kuba, dengan rudal yang diluncurkan dari Kuba itu berarti setengah wilayah Amerika bisa hancur.
Salah satu dari berbagai pertanda tentang pentingnya perkembangan di Amerika Latin dapat dilihat dari diselenggarakannya World Social Forum (WSF)[3] yang mencerminkan corak politik anti-neoliberalisme dan anti-AS yang lebih menonjol. WSF Caracas diliputi suasana “kemenangan kiri” di benua Amerika Latin. Tokoh-tokoh pemimpin seperti di negara Kuba, Venezuela, Bolivia, Cili, Argentina, dan perkembangan kiri di Peru serta Meksiko, seperti yang banyak dibicarakan orang selama dilangsungkan WSF memberi nuansa ideocyncretic kiri yang kuat, kecenderungan kharismatik pemimpin yang condong kekiri akan memimpin negaranya mengikuti tujuannya yaitu anti imperialisme dan kapitalisme AS.
Latar belakang yang mendorong bangkitnya aliansi ini adalah perekonomian liberal yang coba diterapkan oleh lembaga moneter internasional di Amerika Latin dimana perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi selama ratusan tahun di negara-negara Amerika Latin telah menguras kekayaan alam di kawasan itu. Langkah-langkah dominasi dan hegemoni AS di negara-negara Amerika Latin, dukungan AS terhadap rezim-rezim diktator, dan langkah represif AS dalam menggulingkan pemerintahan pilihan rakyat, telah meningkatkan sentimen anti AS di kawasan itu. Selain itu, standar ganda yang diterapkan AS dalam isu-isu semisal demokrasi dan terorisme telah membuat rezim Washington dan partai-partai dukungan rezim ini di Amerika Latin, kehilangan kepercayaan dari rakyat dan ini semakin memperburuk kondisi di Amerika Latin.
Seperti contohnya, pada tahun 1990-an, Argentina mengalami krisis ekonomi besar-besaran dan berakibat ke ketidakstabilan kondisi politik dalam negeri Argentina, dalam sebulan Argentina sempat mengalami pergantian presiden sebanyak tiga kali. Dampak lainnya dirasakan hampir di seluruh Amerika Latin yang mengalami kemiskinan yang semakin melilit, hal ini karena perekonomian liberal yang disama ratakan penerapannya tanpa melihat apakah negara tersebut siap dan mampu atau belum, sistem ini hanya didasarkan pada ambisi AS semata sehingga tidak heran apabila sistem ini gagal menciptakan kesejahteraan, dan yang tersisa untuk Amerika Latin adalah eksploitasi dan hutang yang semakin menumpuk. Ditambah lagi AS membelanjakan satu triliun dolar AS setahun untuk senjata dan tentaranya[4]. Ini akan meningkatkan hegemoni dan keberingasan AS dan mengancam Amerika Latin dan memperlihatkan ketidakadilan dan kesenjangan dunia yang semakin timpang yang segera diakhiri
Kehadiran para pemimpin negara yang hadir pada pertemuan KTT di Havana yang dihadiri wakil dari lebih 100 negara, termasuk Korea Utara dan Iran, musuh bebuyutan Amerika Serikat, dan juga sekutu-sekutu seperti Filipina dan Yordania.[5] yang memiliki sikap yang sama yaitu anti bush, merupakan pertanda yang tidak menguntungkan sama sekali bagi kepentingan atau citra AS mengingat dalam KTT ini disepakati untuk mengecam berbagai bentuk terorisme. GNB juga menyepakati bahwa demokrasi adalah nilai universal yang harus dihormati, tapi dengan syarat tidak ada satu negara atau kawasan pun yang bisa memaksakan nilai tersebut. Satu hal penting dalam KTT adalah seruan segera mereformasi Dewan Keamanan (DK) PBB yang didukung negara-negara anggota, terutama Kuba, Venezuela dan Iran, yang akan mengecam AS atas pengaruhnya terhadap PBB dan atas kebijakan luar negerinya. Pertemuan KTT non blok ini yang sesungguhnya secara substansial bukan lagi gerakan non blok, melainkan gerakan mengeblok AS juga menjadi peristiwa yang penting bagi perkembangan gerakan di dunia untuk melawan hegemoni imperialisme AS antara lain karena perkembangan di Timur Tengah dan Amerika Latin.


Imperialisme dan Kapitalisme AS
-Perdagangan Bebas -
Hugo Chaves
Fidel Castro
Evo Morales
Undang-undang Reformasi kepemilikan tanah
Membentuk koalisi dengan Hugo chaves dan pemimpin kiri
Pengelolaan sumber daya alam oleh pemerintah (nasionalisasi)
Undang-undang Hidrokarbon
Gerakan protes terhadap embargo dagang dan perjalanan
Melegalkan penjualan kokain
Rencana Penjualan pesawat tempur F-16 ke Iran
Menolak zona perdagangan ekonomi

Rencana menggoyang suplai minyak




HUGO CHAVES
Hugo Rafael Chávez Frías adalah Presiden Venezuela yang ke-53 dan yang sedang menjabat saat ini. Sikap anti-AS telah dimiliki Hugo Chavez sejak lama sebelum jadi presiden, Ia telah menjabat sebagai presiden Venezuela sejak tahun 1998. Setelah terpilih sebagai presiden tahun 1998, ia berkali-kali mengalami guncangan pemerintahan. Karenanya ia menunjukkan sikap kirinya, yang membela kepentingan rakyat miskin di negerinya, dan melawan kapitalisme internasional. Dalam kepemimpinannya, Langkah yang diambil oleh Presiden Hugo Chavez adalah mengumumkan serangkaian tindakan yang bertujuan merangsang pertumbuhan ekonomi termasuk di antaranya mengundangkan Undang-undang Reformasi kepemilikan tanah yang menetapkan bagaimana pemerintah bisa mengambil alih lahan-lahan tidur, tanah milik swasta, serta mengundangkan Undang-undang Hidrokarbon yang menjanjikan royalti fleksibel bagi perusahaan-perusahaan yang mengiperasikan tambang minyak milik pemerintah. Kebijakan ekonomi yang dinilai kontroversial terutama menyangkut Undang-undang Reformasi kepemilikan tanah, di antaranya memberi kekuasaan pada pemerintah untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan real estate yang luas dan tanah-tanah pertanian yang dianggap kurang produktif mengundang protes jutaan orang di ibukota, Caracas. Selain itu, pemerintah juga menghapuskan kontrol terhadap nilai tukar uang yang sudah dipertahankan lima tahun dan mengakibatkan turunnya nilai mata uang Bolivar yang jatuh 25% terhadap dolar AS setelahnya. Chavez juga melakukan sejumlah reformasi radikal lainnya, antara lain menolak konsep pasar bebas NAFTA, menggratiskan pendidikan dasar hingga universitas, dan nasionalisasi sejumlah aset swasta yang vital bagi kepentingan umum, termasuk pertambangan minyak. Sebagai negeri penghasil minyak dan batu bara terbesar di Amerika Latin, Chavez juga menaikkan pajak bagi investasi asing di sektor minyak dan gas dari 16,6% menjadi 30%. Dalam sidang-sidang OPEC, Venezuela juga sukses memelopori pengontrolan produksi minyak, sehingga harga tetap stabil. Chavez pun tak ketinggalan melakukan reformasi agraria, karena 60% total luas tanah hanya dimiliki 1% tuan tanah besar[6]. Oleh karena itu, dalam tahun 2002 CIA yang di dukung oleh AS berusaha campur tangan dalam kudeta terhadap kekuasaan yang sah presiden Hugo Chavez, dengan menyokong gerakan yang dilancarkan sejumlah opsir-opsir tentara Venezuela dan kapitalis-kapitalis dalam negeri. Kudeta ini didahului oleh demonstrasi ratusan ribu orang di ibukota Venezuela (Caracas), yang mengepung gedung maskapai minyak negara Petroleos de Venezuela dan istana kepresidenan Miraflores[7]. Kejadian ini mempertajam hubungan AS dan Venezuela.
Sentimen terhadap AS membuat Presiden Venezuela Hugo Chavez, secara blak-blakan menuduh dubes AS untuk Bolivia berusaha menimbulkan pemberontakan militer terhadap sekutu kirinya Presiden Evo Morales. Hal ini terjadi karena dipicu oleh komentar Presiden Bush bahwa dia “prihatin dengan erosi demokrasi” di Bolivia dan Venezuela. Hal ini menambah kuatnya semangat anti AS mereka dan membuat Chavez berada di garis terdepan bagi perubahan ke kiri untuk melawan pengaruh AS di Amerika Latin. Penegas lain keretakan hubungan kedua negara ini adalah ketika AS menjatuhkan larangan penjualan persenjataan kepada Venezuela sebagai reaksi atas hubungan Venezuela yang dekat dengan Iran mengingat Iran juga merupakan ancaman bagi AS dengan adanya pembangunan nuklir dan dikaitkan dengan kasus terrorisme. Alasannya formal AS atas tindakannya ini adalah sikap Caracas yang dinilai tidak bekerja sama dengan baik dalam perang melawan teror yang dikobarkan AS. AS juga memberi perhatian khusus kepada kedekatan Venezuela dengan Iran dan Kuba sebagai salah satu alasan atas keputusan itu. Ketegangan lainnya yang memicu gerakan anti AS adalah pernyataan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Condoleezza Rice yang mengatakan, Venezuela merupakan salah satu masalah terbesar di wilayah itu terutama hubungan Venezuela dengan Kuba yang dianggap membahayakan demokrasi di Amerika Latin.
Menanggapi ancaman tersebut, jika Washington terus mencoba menggoyahkan pemerintah Venezuela maka Venezuela mengancam akan menjual 21 pesawat tempur F-16 ke Iran dan menggoyang suplai minyak[8] Venezuela ke AS dengan menghentikan pemasokan minyak ke negara AS mengingat produksi minyak mentah Venezuela setiap harinya sekitar 3 juta barrel dan 75% -nya menjadi komoditas ekspor. Pendapatan devisa dari hasil ekspor minyak juga berkisar antara 3 miliar dan 4 miliar dollar US setahunnya karenanya, Venezuela menjadi eksportir minyak nomor 5 di dunia, dan 13% kebutuhan minyak AS tiap harinya disupply oleh negara ini[9]. Jadi, jelaslah bahwa minyak merupakan urat nadi untuk negara dan rakyat Venezuela. Hal ini jugalah yang menyebabkan negara ini menjadi sorotan dan perebutan kepentingan berbagai pihak.disamping itu, Chavez juga menunda rencana kebijakan ekonominya yang radikal seperti revisi kontrak dengan perusahaan minyak internasional serta penolakan terhadap Dana Moneter Iinternasional IMF sehingga dia akhirnya bersedia menerima swastanisasi. Namun sikap moderat yang ditempuh Chavez ini tidaklah langsung meredakan perhatian dunia. Ia berkunjung ke Irak, bertemu dengan Saddam Hussein, dan menjadi motor utama dalam pengurangan produksi OPEC untuk mengontrol harga minyak[10].
Selain perlawanan eksternal terhadap AS, presiden Hugo Chavez mulai memupuk kesatuan internal di Amerika Latin dengan menunjukkan bahwa Venezuela di samping menggunakan hasil kekayaan buminya untuk pembangunan sosialisme Bolivar bagi kesejahteraan dan kemajuan rakyatnya, juga untuk membantu negara-negara lain, seperti Kuba, Bolivia dan Argentina. Sikapnya yang terang-terangan anti-AS ini kelihatan sekali selama Forum Sosial Sedunia di Caracas. Berkali-kali ia mengutuk imperialisme AS, dan mengatakan bahwa Bush adalah teroris yang terbesar di dunia. Melihat sikapnya ini, banyak orang menduga bahwa Washington tidak akan membiarkan terus Hugo Chavez menjalankan politiknya untuk membentuk poros Kuba-Venezuela-Bolivia, atau untuk membantu munculnya satu, dua atau tiga Bolivia lainnya di Amerika Latin. Hal-hal yang tidak terduga masih bisa saja terjadi atas diri Hugo Chavez dan kekuasaannya, baik yang berupa aksi-aksi subversi, sabotase ekonomi atau diplomatik, atau bantuan gelap lainnya untuk terjadinya lagi kudeta.


FIDEL CASTRO
Fidel Alejandro Castro Ruz adalah Presiden Kuba saat ini. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Perdana Menteri atas penunjukannya pada Februari 1959 setelah tampil sebagai komandan revolusi yang gagal Presiden Dewan Negara merangkap jabatan sebagai Dewan Menteri Fulgencio Batista pada tahun 1976. Castro tampil sebagai sekretaris pertama Partai Komunis Kuba (Communist Party of Cuba) pada tahun 1965 dan mentransformasikan Kuba ke dalam republik sosialis satu-partai dan selain tampil sebagai presiden, ia juga tampil sebagai komandan Militer Kuba inilah yang memicu ketidaknyamanan AS .
Di luar Kuba, Castro mulai menggalang kekuatan untuk melawan dominasi Amerika Serikat dan bekas negara Uni Soviet. Setelah runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, cita-cita dan impiannya mulai diwujudkan dengan bertemu Hugo Chávez di Venezuela dan Evo Morales dari Bolivia. Persahabatan mereka sangat dekat seperti apa yang dilakukan oleh Chavez yang langsung menyerang kebijakan sanksi-sanksi Washington atas Kuba yang diumumkan AS. Washington menegaskan, akan mengurangi tingkat sirkulasi dolar untuk menguras uang cash Kuba. Sanksi itu juga termasuk meningkatkan dukungan bagi kalangan oposisi Kuba yang secara garis politik berseberangan dengan Fidel Castro, menurut Castro ini adalah bentuk terorisme negara.[11]
Presiden Kuba Fidel Castro juga memimpin puluhan ribu warganya melancarkan protes terhadap kebijakan baru Amerika hendak memperketat embargo dagang dan perjalanan ke negeri pulau itu. Peraturan Amerika membatasi perjalanan ke Kuba tidak mengenal kasihan dan tidak berprikemanusiaan. Sesuai peraturan, warga Amerika asal Kuba hanya dibolehkan mengunjungi Kuba sekali dalam tiga tahun, tidak tiap tahun. Peraturan juga mengurangi pengiriman uang yang boleh dilakukan warga Amerika asal Kuba kepada keluarga atau famili mereka di Kuba. Tujuan peraturan ini ialah selain ingin sanksi ekonomi Amerika tadi diharapkan melemahkan sistem sosialis Kuba, juga ditujukan untuk memungkiri Kuba memperoleh dolar Amerika dan pada gilirannya mempercepat berakhirnya pemerintahan Castro.[12]
Aliansi kebangkitan Sosialisme Amerika Latin sebenarnya tidak lepas dari perlawanan berpuluh-puluh tahun Fidel Castro terhadap Amerika Serikat, dan hal ini dipicu lagi dengan percobaan kudeta terhadap Hugo Chavez di Venezuela tahun 2002 oleh AS yang dicurigai melibatkan campur tangan CIA. Hal lain yang meningkatkan perjuangan aliansi ini adalah resep ekonomi liberal yang dipelopori oleh AS liberal dengan segala kepentingannya yang diterapkan oleh lembaga moneter internasional di ekonomi negara ini dan Amerika Latin ternyata memperburuk kondisi ekonomi negara-negara Amerika Latin, Hampir di seluruh Amerika Latin kemiskinan makin melilit, hal ini karena resep ekonomi liberal gagal menciptakan kesejahteraan, yang dirasakan adalah eksploitasi dan hutang yang semakin menumpuk. Puncak perlawanan ekonomi poros Amerika Latin adalah ditolaknya rencana zona perdagangan bebas pada KTT negara-negara benua Amerika. Dan dimulailah pernyataan Anti Amerika di seluruh Amerika Latin yang dipimpin oleh Castro dan teman-teman.




EVO MORALES

Juan Evo Morales Ayma, ketika ia melihat bahwa perjuangan sosial di kalangan petani-petani coca ini perlu ditingkatkan menjadi gerakan politik, maka partai yang bernama MAS yang dipimpin Evo Morales menjadi kekuatan politik yang terbesar dan terkuat di Bolivia, yang menggiringnya menjadi Preseden Bolivia melalui kampanyenya yang terang-terangan mengutuk kejahatan-kejahatan perusahaan-perusahaan multinasional, mengkritik praktek-praktek neoliberalisme dan globalisasi yang dilakukan oleh IMF, Bank Dunia, dan WTO, Evo Morales juga banyak bicara tentang pentingnya negara Bolivia sebagai pengontrol pengelolaan gas bumi, yang merupakan cadangan besar sekali di benua Amerika Latin dan menurutnya, Bolivia dapat mengelolanya sendiri sehingga tidak kembali diperas oleh pihak luar seperti yang pernah dialami Bolivia dimana sejarah penjajahan Spanyol di Bolivia menunjukkan bahwa penjarahan besar-besaran kekayaan bumi Bolivia yang berupa timah hanya untuk kekayaan kapitalis-kapitalis Spanyol, sedangkan orang-orang dari suku Indian, yang merupakan majoritas penduduk, tidak mendapat apa-apa atau sedikit sekali. Inilah yang membuat Morales tidak menyukai kapitalisme.
Terpilihnya Evo Morales sebagai presiden Bolivia[13] membawa tantangan baru bagi kebijakan pemerintahan George W Bush di Amerika Latin. Popularitas Amerika di kawasan ini terus merosot, sementara ideologi kiri makin kuat. Amerika Serikat berusaha menjatuhkan citra Evo Morales sejak dia tampil ke permukaan. Morales menyebut Gerakan Menuju Sosialisme pimpinannya sebagai ''mimpi buruk'' bagi Washington.[14] Namun, Morales juga mengisyaratkan bahwa dia dapat pula menempuh kebijakan pragmatis. Analis berpendapat, Amerika Serikat tidak perlu terlalu jauh masuk ke dalam konfrontasi. Kemenangan pemilu Morales makin menambah barisan kekuatan kiri di Amerika Latin. Orang-orang Amerika Latin sudah tidak percaya dengan kebijakan ekonomi pasar bebas karena tidak berdampak meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin.[15]
Pada masa reformasi ekonomi di tahun 1990-an, Morales ikut menyumbangkan keberhasilan perekonomian Bolivia yang kian meningkat dalam produksi dan penyelundupan narkoba internasional. Hal yang memicu ketersendatan dan ketidaklancaran adalah ketika pemerintahan Presiden Hugo Banzer mengupayakan penghapusan narkoba yang didukung Amerika Serikat pada pertengahan 1990-an. Mulai saat itu muncul berbagai ketegangan disertai banyak bentrokan dan protes.
Kritik keras terhadap Amerika Serikat adalah Masalah kokain yang terus dipertentangkan oleh AS di Bolivia, menurut Morales harus dipecahkan pada sisi konsumsinya, bukan dengan mengatur tanaman koka, yang sudah legal di daerah-daerah tertentu di Bolivia. Ideologi Morales tentang narkoba dapat diringkas menjadi "daun koka bukanlah narkoba". Kenyataannya, mengunyah daun koka telah menjadi tradisi bagi masyarakat setempat (Aymara dan Quechua) dan pengaruh obatnya tidak sekuat kafein yang terdapat di dalam kopi, namun bagi banyak rakyat Bolivia yang miskin ini dianggap sebagai satu-satunya cara untuk bekerja terus sepanjang hari. Praktek mengunyah daun koka oleh penduduk pribumi di Bolivia sudah berlangsung lebih dari 1000 tahun dan tidak pernah menimbulkan masalah narkoba di masyarakat mereka. Itulah sebabnya Morales percaya bahwa masalah kokain harus diselesaikan pada sisi konsumsinya, bukan dengan membasmi perkebunan koka[16].
Pemerintahan Morales sangat berbeda pendapat dengan Amerika Serikat dalam masalah undang-undang anti narkoba dan kerja sama antara kedua negara itu, namun mereka telah mengungkapkan keinginan untuk bekerja sama dalam membasmi perdagangan narkoba. Sean McCormack dari Departemen Luar Negeri AS memperkuat dukungan terhadap kebijakan anti narkoba Bolivia, sementara Morales menyatakan akan menerapkan kebijakan nol kokain, nol perdagangan narkoba, namun bukannya nol koka[17].
Dalam pertemuan di Havana, Chavez mendapatkan dua kali kesempatan menyampaikan pidatonya secara spontan Inti pidatonya, Chavez menyerukan bahwa KTT GNB di Kuba ini harus menjadi awal berubahnya peta kekuatan dunia. Caranya, para ilmuwan, ekonom, dan pakar di segala bidang harus bersatu membuat langkah mengatasi berbagai ketinggalan yang dialami negara-negara miskin.[18]

Kesimpulan Presiden Venezuela Hugo Chavez adalah kekuatan pendorong di balik perubahan sikap Amerika Latin. Pada tahun 1998 Chavez terpilih sebagai presiden dan langsung jelas bahwa ia tidak begitu suka politik Amerika Serikat. Sejak saat itu Chavez mendorong lebih banyak kerjasama antara negara-negara kawasan, untuk mencegah campur tangan Amerika Serikat. Kuba dan Bolivia langsung memanfaatkan syarat menguntungkan untuk bisa membeli minyak Venezuela. Kedua negara memang sangat miskin. Menurut Maarten-Jan Bakkum dari ABN AMRO, Kuba sebelumnya sudah mendapat banyak dukungan dari Venezuela. Dan persetujuan yang sekarang hanyalah kepastian bahwa sebelumnya minyak murah Venezuela sudah mengalir ke Kuba. Ketiga pemimpin juga sepakat bahwa tarif perdagangan diturunkan, karena akan menggalakkan ekspor. Ini terutama adalah proyek Venezuela, proyek Chavez. Dan ia punya ambisi besar untuk memperluas pengaruhnya di seluruh wilayah Amerika Latin untuk menggerakkan anti AS. Dan tentu saja tindakan ekspansionis ini akan bergerak dari harga minyak, apakah usaha Chavez ini berhasil atau tidak, pertanyaan terbesar tentu saja apakah lebih banyak negara Amerika Latin yang akan bergabung dalam blok perdagangan baru tadi. Itu sangat tergantung dari pemilu presiden dilangsungkan di Peru, Meksiko, Nikaragua, Brazil, dan Kolombia. Apabila calon-calon kubu kiri menang, maka ini bisa berarti tambahan dukungan untuk Chavez. Pada saat ini yang paling penting bagi Amerika Latin adalah pertumbuhan ekonomi Cina yang pesat dan juga negara-negara lain yang makin butuh bahan-bahan mentah. Amerika Latin adalah wilayah dunia yang punya banyak cadangan bahan mentah. Untuk sejumlah negara ini bukan hanya minyak, tetapi juga produk-produk pertanian lainnya, seperti bijih besi di Brazil dan tembaga di Chili[19]. Pada saat ini benua tersebut sedang naik ekonominya, sebagian besar karena banyaknya permintaan dari Cina dan negara-negara berkembang Bertambahnya permintaan bahan-bahan mentah sangatlah menunjang rasa percaya diri negara-negara Amerika Latin mengingat mereka telah memiliki pengalaman yang burk dengan AS dan mereka akan terus menjaga agar terrorisme AS tidak lagi terulang dan untuk itu, mereka harus memperkuat hubungan intern di Amerika Latin, berjuang bersama untuk mengatasi masalah-masalah mereka lepas dari campur tangan AS walaupun tidak menutup kemungkinan berhubungan dengan negara calon kekuatan dunia baru seperti Cina. Untuk itu, Amerika Latin memerlukan sosok pemimpin yang berani membela kepentingan negara dan warganya dan tegas dalam bertindak seperti trio poros anti AS dari Venezuela, Kuba dan Bolivia














DAFTAR PUSTAKA


WEBSITE
http://www.mail-archive.com
http://www.suaramerdeka.com
http://swaramuslim.net
http://www.vhrmedia.net
http://www.voanews.com
http://id.wikipedia.org

[1] http://www.mail-archive.com/bhinneka@yahoogroups.com/msg00682.html 13 Oktober 2006 pukul 15.15
[2] http://www.vhrmedia.net/home/index.php?id=view&aid=962&lang= diakses tanggal 13 Oktober 2006 pukul 15.50
[3] Forum Sosial Dunia yang diadakan di Caracas antara tanggal 24 Januari sampai 29 Januari 2006 yang dihadiri oleh lebih dari 70. 000 orang dari berbagai negeri di dunia dan sekitar 5000 pekerja pers internasional dan media massa lainnya. Ribuan wakil atau delegasi LSM dari banyak negeri di dunia telah hadir dalam pertemuan besar ini. World Social Forum di Caracas ini, yang merupakan yang ke-6, sebagai kelanjutan yang diadakan di Porto Allegre (Brasilia) dalam tahun 2001 dan yang terakhir di Bamako (Mali)
[4] http://opini.wordpress.com/tag/gnb/ diakses tanggal 13 Oktober 2006 pukul 15.43
[5] http://www.mail-archive.com/berita@listserv.rnw.nl/msg01127.html diakses tanggal 13 Oktober 2006 pukul 15.44
[6] http://www.freelists.org/archives/nasional_list/09-2005/msg00121.html diakses tanggal 13 oktober 2006 pukul 15.07
[7] http://www.mail-archive.com/bhinneka@yahoogroups.com/msg00327.html diakses tanggal 13 Oktober 2006 pukul 15.47
[8]http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=248810&kat_id=7&kat_id1=&kat_id2= dikases tanggal 13 Oktober 2006 pukul 14.57

[9] http://www.mail-archive.com/bhinneka@yahoogroups.com/msg00327.html diakses tanggal 13 Oktober 2006 pukul 15.47
[10] Ceritanet, situs nir-laba untuk karya tulis oleh Liston Siregar, edisi 13, Jumat 1 Juni 2001
[11] http://swaramuslim.net/more.php?id=A1851_0_1_0_M diakses tanggal 13 Oktober 2006 pukul 15.09
[12] http://www.voanews.com/indonesian/archive/2004-06/a-2004-06-22-4-1.cfm diakses tanggal 13 Oktober 2006 pukul 15.36
[13] Sebagai pemimpin para cocaleros, Morales terpilih menjadi anggota Kongres Bolivia pada 1997. Ia mewakili provinsi Chapare dan Carrasco de Cochabamba dengan 70% suara di distrik itu. Ini merupakan jumlah terbanyak di antara 68 anggota parlemen yang terpilih langsung dalam pemilu tersebut.
[14] http://id.wikipedia.org/wiki/Evo_Morales diakses tanggal 13 Oktober 2006 pukul 15.40
[15] http://www.suaramerdeka.com/harian/0512/21/int1.htm diakses tanggal 13 Oktober 2006 pukul 15.51
[16] http://id.wikipedia.org/wiki/Evo_Morales 15.40 diakses tanggal 13 oktober 2006 pukul 15.40

[17] Ibid.
[18] http://www.mail-archive.com/bhinneka@yahoogroups.com/msg00682.html diakses tanggal 13 Oktober 2006 pukul 15.15
[19] http://www.mail-archive.com/berita@listserv.rnw.nl/msg01127.html dikases tanggal 14 September 2006 pukul 15.44

Israel-Palestina

Analisi Israel-Palestina
by Santhi margaretha


Bab I
Pendahuluan

Hingga saat ini konflik antara Israel dengan Palestina masih berkecamuk. Berbagai upaya perdamaian telah diusahakan namun kedua negara enggan untuk berdamai sehingga kawasan Timur Tengah masih tetap bergejolak, tidak kondusif, dan masih sulit untuk mengembangkan dan meningkatkan perekonomian, kesejahteraan, tingkat taraf hidup dan bahkan demokratisasi yang ingin ditanamkan negara-negara Barat terutama Amerika Serikat. Tak ayal banyak penduduk sipil yang menjadi korban dari pertikaian kedua negara tersebut.
Konflik Israel-Palestina menimbulkan pengaruh (influence) bagi beberapa negara di belahan dunia lainnya di samping menimbulkan dampak bagi berbagai bidang kehidupan dalam negaranya sendiri. Pengaruh ini khususnya dirasakan oleh negara-negara yang berada di kawasan Timur Tengah. Ancaman kedaulatan dan keamanan di negara Israel dan Palestina menjadi ancaman pula di beberapa negara Timur Tengah lainnya. Karena bukan tidak mungkin setelah berhasil menguasai Palestina, Israel juga menginginkan untuk segera menduduki wilayah negara tetangga Palestina. Keinginan Israel untuk menduduki dan berkuasa di Palestina merupakan ancaman besar bagi kaum Muslim yang ada di Timur Tengah, karena wilayah Palestina dipercaya sebagai kota suci bagi pemeluk agama Islam, setelah Mekkah dan Madinah.
Sementara bagi negara-negara lain (di Asia dan di Eropa), konflik berkepanjangan yang terjadi antara Israel dan Palestina ini merupakan salah satu pelanggaran terhadap HAM yang tidak dapat dibiarkan begitu saja. Permasalahan Israel-Palestina juga mempengaruhi pasaran dan produktifitas minyak dunia serta mempengaruhi negara lain yang memiliki kepentingan di Timur Tengah semisal Amerika Serikat yang bekerja sama dengan Israel guna memperluas basis militernya di negara Timur Tengah serta berusaha menanamkan ideologinya di negara-negara Timur Tengah yang tergolong radikal, dan masih banyak kepentingan-kepentingan negara lain yang ada di Timur Tengah.
Konflik Israel-Palestina bermula ketika di tahun 1890 muncul gerakan Zionisme. Kemudian pada tahun 1897 diadakan kongres di Basel, Swiss yang melahirkan Organisasi Zionist Internasional di mana semenjak itu banyak kaum Yahudi dari berbagai wilayah di Eropa Tengah dan Timur mulai berdatangan di bumi Palestina[1].
Di tahun 1917, pemerintah Inggris mengeluarkan keputusan Kabinet Inggris yang dikenal dengan Deklarasi Balfour yang isinya mendukung pembentukan wilayah yang dapat menampung para orang Yahudi. Keputusan itu diumumkan dalam sebuah surat dari Lord Arthur James Balfour kepada Lord Rothschild. Terciptanya pemerintahan Yahudi di Palestina dapat memperkuat posisi Inggris di dunia Arab setelah Perang Dunia I. Dengan dukungan dana dan politik kaum Yahudi dunia, Inggris mengharapkan rute jajahannya ke India dapat aman[2].
Sejak dikeluarkannya Deklarasi Balfour, ketenangan hidup masyarakat Arab di Palestina baik Muslim maupun Nasrani mulai terusik. Pemerintah Inggris yang saat itu menguasai Palestina memberikan kesempatan kepada bangsa Yahudi untuk membangun negara merdeka di wilayah tersebut. Dengan deklarasi tersebut, kaum Yahudi mendapat dukungan resmi yang membantu mereka mewujudkan keinginannya. Bahkan Amerika Serikat menurut situs Jewish Virtual Library menyetujui Deklarasi Balfour[3].
Setelah diputuskannya Deklarasi Balfour tersebut, Inggris secara perlahan-lahan menyerahkan masalah Palestina kepada PBB dan setahun kemudian melepaskan kekuasaannya di wilayah tersebut. Akibatnya wilayah Palestina semakin diselimuti berbagai konflik, PBB pun akhirnya turun tangan dan mencoba memberikan jalan keluar berupa pembagian wilayah Palestina menjadi dua bagian dan kota Jerussalem dijadikan sebagai kota internasional. Keputusan itu ditolak oleh kelompok bangsa Arab sementara bangsa Yahudi meski dengan keengganannya bersedia menerimanya karena menganggap hal itu merupakan langkah awal dalam mewujudkan keinginan mereka.
Pada tahun 1939, Inggris mengeluarkan kebijakan yang dinamakan Churchill White Paper[4]. Isinya antara lain pembatasan kaum Yahudi untuk bermigrasi ke daerah Palestina dan rencana untuk membangun tempat tinggal yang proporsional bagi kaum Arab dan Yahudi. Kebijakan ini ditolak oleh kaum Yahudi, mereka menganggap isi White Paper membuat Balfour Declaration seakan tak pernah ada. Inggris juga membentuk Peel Royal Comission pada tahun 1936, yang bertugas menyelidiki kondisi Palestina[5].
Pada tahun 14 Mei 1948, para kaum Yahudi di Palestina mendeklarasikan diri bahwa mereka adalah negara merdeka bernama Israel. Pada waktu yang bersamaan, negara-negara Arab langsung mengumumkan perang terhadap Israel. Mesir, Yordania, Syria, Lebanon, dan Irak menyatakan bahwa mereka akan menyerang Israel untuk mengembalikan status quo. Namun Israel Defense Forces (IDF) yang dibentuk pada tahun 1949 mampu menahan serangan gabungan negara Arab tersebut. Pada perang ini, 780.000 warga Palestina harus mengungsi dari daerah tersebut, selain harus memberi tempat pada warga Yahudi yang berdatangan.
Pada 1967, terjadi perang enam hari dengan negara-negara Arab yang tak mau mengakui keberadaan Israel, antara lain Mesir, Irak, Iran, dan Syria. Perang ini kemudian dikenal sebagai six-day war. Israel memperoleh Sinai Penisula, Gaza Strip, West Bank, dan Golan Heights. PBB lalu mengeluarkan resolusi 242 yang meminta agar Israel mundur dari daerah yang sudah didapatkan dan sebagai timbal baliknya negara-negara Arab akan mengakui keberadaan Israel sebagai negara yang berdaulat[6].
Pada tahun 1964, Palestina mendirikan Palestine Liberation Organization (PLO) yang bertujuan untuk membentuk negara Palestina yang berdaulat. Pada tahun 1969, Yasser Arafat yang dianggap sebagai pejuang kemerdekaan Palestina menjadi pemimpin PLO. Pada tahun 1974, Liga Arab mengakui keberadaan PLO sebagai satu-satunya legitimasi yang mewakili rakyat Palestina, dan pada tahun 1976 Palestina resmi menjadi anggota Liga Arab[7]. Negara-negara Arab pada umumnya mendukung kemerdekaan Palestina dengan catatan tidak mengancam posisi negara-negara yang bersangkutan[8]. Arafat aktif memperjuangkan eksistensi Palestina di dunia internasional, antara lain dengan masuknya Palestina di PBB dengan status sebagai observer, selain Vatican dan Swiss.
Semenjak berdirinya Negara Israel tersebut, konflik berdarah antara bangsa Yahudi dan Palestina semakin meningkat. Warga Palestina hidup dalam tekanan dan penderitaan yang terus menerus akibat tekanan agresi militer Israel seperti tidak diperkenankannya menuntut hak-hak mereka. Mereka berada dalam posisi yang lemah, tidak memiliki persenjataan, buldoser, helikopter, peralatan militer yang canggih seperti yang dimiliki oleh Israel. Akibatnya, bangsa Palestina melakukan aksi pembalasan berupa aksi bom bunuh diri, namun aksi ini dicap oleh Israel dan bangsa Barat sebagai aksi terorisme yang harus dibasmi.[9] Padahal tindakan para aktivis Palestina merupakan langkah untuk menunjukkan kepada masyarakat internasional bahwa mereka masih ingin tetap “exist”, tidak ingin dan tidak rela diperlakukan secara semena-mena, tidak adil dan tidak manusiawi[10].
Berbagai upaya dan langkah telah dilakukan oleh berbagai negara baik negara tetangga di kawasan Timur Tengah maupun dari luar kawasan serta berbagai kalangan internasional untuk mengakhiri konflik berdarah antara Israel dan Palestina. Pada 13 September 1993, proses perdamaian antara Israel-Palestina mulai tampak. Pertemuan yang disponsori oleh Amerika Serikat ini menghasilkan sebuah kesepakatan untuk membangun badan interim Palestina, Palestinian National Authority (PNA) yang mengurus pemerintahan di daerah tersebut. Namun sangat disayangkan, tidak seluruh pihak bersikap hangat akan proses perdamaian ini. Pada November 1995, Yigal Amir, seorang penduduk Israel yang tidak menyetujui proses perdamaian melakukan pembunuhan terhadap Rabin dan pada awal tahun 1996, terjadi aksi bom bunuh diri oleh militan Palestina yang ditujukan pada pihak Israel. Proses perdamaian seakan mengalami hibernasi yang berkepanjangan.
Selanjutnya muncullah apa yang dinamakan Peta Jalan (road map) yang disepakati oleh Komite Kwartet yaitu Amerika Serikat, Rusia, Uni Eropa dan Sekjen PBB dan telah diluncurkan oleh Presiden Amerika Serikat George W. Bush pada bulan Juni 2003. Peta tersebut mencanangkan rencana menghidupkan kembali proses perdamaian di Timur Tengah menuju pendirian Negara Palestina yang merdeka pada tahun 2005. Peta jalan tersebut sejalan dengan inisiatif bangsa Arab yang telah dicapai melalui KTT Arab di Lebanon pada tahun 2003. Pihak Palestina yang diwakili oleh PM Mahmoud Abbas dan Israel yang diwakili oleh PM Ariel Sharon sepakat untuk melaksanakan peta jalan tersebut setelah mereka bersama dengan presiden Amerika Serikat George W. Bush dan Raja Abdullah II mengadakan pertemuan di Aqaba, Yordania, 4 Juni 2003[11].
Namun peta jalan tersebut hingga detik ini tidak terlaksana. Hal ini hampir sama dengan nasib kesepakatan atau persetujuan lainnya yang telah ada terlebih dahulu. Telah banyak kesepakatan atau persetujuan antara Israel, Palestina dan negara-negara atau organisasi–organisasi internasional yang sudah dicapai dan ditandatangani demi menciptakan perdamaian di kawasan Timur Tengah. Kendati demikian, semua itu tidak terlaksana karena sikap Israel yang secara sepihak melakukan unilateral action, mengabaikan dan mengingkarinya. Berbagai ketentuan-ketentuan dan hukum internasional termasuk juga resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB tidak diindahkan. Bahkan pengingkaran Israel terhadap berbagai ketentuan-ketentuan yang telah dihasilkan seakan-akan mendapat dukungan dari negara-negara yang memiliki kekuatan yang besar seperti keberpihakan Amerika Serikat atas Israel yang ikut menekan Palestina, banyak negara besar lainnya tidak mampu dan membiarkan keganasan dan aksi kekerasan Israel terhadap rakyat Palestina[12]. Misalnya saja, Amerika Serikat yang begitu nyata membela berbagai sikap dan tindakan Israel; pada tahun 1991 saat terjadi Perang Gulf, Arab Saudi dan Kuwait yang dulunya mendukung gerakan Palestina telah berbalik untuk tidak mendukung Palestina. Hal inilah yang mengakibatkan munculnya berbagai gerakan separatis Palestina untuk menyerang Israel[13].
Israelpun tidak tinggal diam, mereka melakukan berbagai operasi pembersihan di daerah perbatasan yang disertai dengan aksi penggusuran, melakukan serangan balasan atas aksi berbagai bom bunuh diri yang dilakukan oleh gerakan separatis Palestina hingga melakukan operasi yang menargetkan penangkapan anggota separatis Hamas dan Brigade Syuhada Al-Aqsa terutama para pemimpinnya. Namun operasi Israel ini sia-sia. Hal inilah yang akhirnya mendorong Israel berniat membangun apa yang disebutnya sebagai pagar keamanan sepanjang 350 km dalam rangka mencegah serangan bom bunuh diri Palestina. Keinginan Israel ini mendapat restu dari Amerika Serikat sehingga dunia internasionalpun dengan cepat meresponsnya. Di samping itu, Israel juga berencana menyabotase pemerintahan Palestina dan berusaha membunuh pemimpin PLO Yasser Arafat[14].
Sikap Israel dan amerika Serikat mendapat respon dari berbagai kalangan. Pada bulan April 2004, diadakan pertemuan darurat Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Putrajaya, Malaysia di mana pertemuan itu menyerang kebijakan Amerika Serikat terhadap Israel. PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi mengecam restu Presiden Amerika Serikat atas strategi terbaru PM Israel Ariel Sharon di mana restu itu dipandang negara-negara anggota OKI dapat menghancurkan seluruh proses perdamaian di Timur Tengah dan bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Peta Jalan Damai yang ikut disusunnya (Amerika Serikat). Abdullah menyerukan agar Washington memainkan peran sebagai perantara yang jujur[15].
Tidak hanya OKI saja yang langsung merespon, PBB serta masyarakat Uni Eropa juga langsung menanggapi sikap Israel dan Amerika Serikat tentang tembok pengaman tersebut. Masyarakat Uni Eropa memutuskan untuk tidak mendukung Israel dalam kasus tembok pembatas tersebut. Keputusan tersebut semakin mempertegang hubungan antara Uni Eropa dengan Amerika Serikat, namun pihak Uni Eropa tidak mempedulikannya karena mereka memandang tindakan Israel sudah diluar keinginan masyarakat Uni Eropa bahkan masyarakat internasional. PBB sendiri telah membuat keputusan di mana PBB mendukung keputusan hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional yang meminta Israel menghentikan pembangunan tembok pembatas di Tepi Barat. Namun keputusan Uni Eropa dan PBB tidak ditanggapi bahkan ditolak oleh Israel[16].
Begitu pula halnya dengan organisasi GNB yang pada tanggal 20 Agustus 2004, GNB mendesak 114 negara anggotanya memberlakukan sanksi terhadap Israel sehubungan dengan pembangunan tembok pengaman di Tepi Barat. GNB juga menyerukan agar perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam proses pembangunan tembok pengaman tersebut dimasukkan dalam daftar hitam atau didenda sebagai langkah hukuman terhadap Israel yang telah melanggar keputusan Mahkamah Internasional[17]. Dalam deklarasi pada akhir pertemuan sehari tingkat menteri GNB di Durban, Afrika Selatan, gerakan itu juga menolak akses orang dan produk apapun bentuknya dari pemukiman Yahudi ke negara anggota GNB.
Proses perundingan antara kedua negara yang sempat terhenti sepeninggal pemimpin PLO Yasser Arafat, kini kembali digulirkan. PM Israel Ariel Sharon mengatakan bahwa ia merasa sangat puas dengan usaha Presiden Palestina saat ini Mahmoud Abbas yang berupaya memulihkan ketenangan dan berjanji akan mengupayakan perdamaian bagi Abbas[18].
Rusia juga sependapat dengan Palestina untuk melanjutkan proses perdamaian dengan Israel sesegera mungkin. Hal senada juga diungkapkan oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Condoleezza Rice yang berjanji akan melakukan berbagai upaya untuk mencari penyelesaian masalah Israel dan Palestina[19]. Upaya masyarakat internasional untuk membantu menyelesaikan masalah Israel-Paletina juga datang dari pihak Perancis. Pemerintah Perancis menawarkan diri menjadi penyelenggara konferensi internasional untuk mewujudkan perdamaian antara Israel dengan Palestina akhir tahun 2005[20].
Proses penyelesaian masalah Israel-Palestina masih akan memakan waktu yang begitu panjang dan sangat rumit. Selain perlu adanya sikap saling toleransi dan itikad baik untuk melangsungkan perdamaian antara kedua belah pihak, juga diperlukan sikap jujur, tegas dan adil dari pihak-pihak lain yang ikut berpengaruh dalam masalah ini. Jangan sampai pengaruh pihak asing (negara, organisasi internasional dan kelompok-kelompok militan/radikal tertentu) justru semakin memprovokasi persoalan ini dan memicu ke arah konflik yang jauh lebih besar.
Sebagaimana yang dikatakan Nawawy bahwa konflik yang terjadi di Timur Tengah tidak terbatas karena faktor politik dan wilayahnya saja, tapi juga faktor perbedaan budaya antara Arab dan Israel dan faktor lainnya sehingga konflik Israel-Palestina tersebut dapat dianalisa melalui berbagai sudut pandang yang dapat menjelaskan, menerangkan (dan bahkan meramalkan) berbagai hal yang terjadi dalam konflik antara Israel dengan Palestina. Pada bab selanjutnya akan dijelaskan berbagai pendekatan yang dapat diambil dari konflik Israel-Palestina tersebut.

Bab II
Isi

Konflik Israel-Palestina dapat ditinjau dari berbagai pendekatan, antara lain:
1. Pendekatan Historical
Pendekatan ini menjelaskan asal mula munculnya suatu negara, munculnya suatu konflik, pola dan karakteristik suatu negara. Dalam konflik Israel-Palestina, persoalan dasar yang memunculkan pertikaian tersebut adalah masalah hak atas tanah baik yang kini dikuasai oleh Israel maupun tanah yang masih dikuasai oleh Palestina.
Dalam sejarah tiga agama samawi yang merupakan agama monoteistik besar bagi umat manusia sedunia: Yahudi, Nasrani dan Islam, tanah Palestina khususnya Jerussalem dan Bethlehem memiliki arti khusus dan dipercaya sebagai kota-kota suci bagi para pemeluk tiga agama samawi tersebut. Bagi umat Yahudi, di kota Jerussalem terdapat dinding ratapan, tempat suci untuk menyatakan dan menyampaikan ratapan serta keinginan mereka kepada Tuhan. Di bawah permukaan tanah tempat berdirinya masjid Al-Aqsa atau Bait Al-Maqdis juga dipercaya terdapat Kuil Daud yang tertimbun. Bahkan mereka meyakini bahwa wilayah Palestina adalah tanah yang dijanjikan oleh Tuhan bagi kehidupan mereka di atas dunia ni.
Bagi umat Nasrani, kota Jerussalem merupakan tempat suci karena di kota itulah terjadi peristiwa penyaliban Yesus. Selain itu, di dekat kota Jerussalem terdapat daerah yang bernama Bethlehem, tempat kelahiran Yesus Kristus Sang Juru Selamat, dan di kedua kota itu pula terdapat sejumlah gereja utama yang disucikan dan dimuliakan oleh umat Nasrani sedunia.
Bagi umat Islam, kota Jerussalem merupakan kota suci ketiga setelah Mekkah dan Madinah. Jerussalem adalah bumi yang diberkati Tuhan Yang Maha Kuasa karena di kota itulah tepatnya dari Masjid Al-Aqsa, Nabi Muhammad SWA melakukan mi’raj – perjalanan menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa pada suatu malam – kemudian menerima perintah langsung dari Allah Yang Maha Suci untuk suatu kewajiban melaksanakan shalat 5 waktu bagi setiap muslim.
Kepercayaan inilah yang semakin menguatkan bangsa Yahudi (yang telah terpecah belah waktu itu ketika tentara Nasrani dan pada masa selanjutnya tentara Turki Ottoman menyerang Palestina) untuk segera membentuk Organisasi Zionis Internasional (hasil kongres Basel di Swiss pada tahun 1897) yang bertujuan mengumpulkan seluruh bangsa Yahudi dari berbagai negara di Eropa Tengah dan Timur. Kedatangan bangsa Yahudi ke Palestina pun bertujuan untuk memulai hidup baru dalam rangka merintis rencana gerakan Zionis Internasional guna menjadikan Palestina sebagai sebuah negara bagi kaum Yahudi.
Ketenangan hidup masyarakat Arab di Palestina baik Muslim maupun Nasrani mulai terusik sejak tanggal 2 November 1917 di mana Kabinet Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour. Dengan deklarasi tersebut, bangsa Yahudi mendapat dukungan resmi yang akan membantu upaya mereka mewujudkan keinginan kaum Zionis Internasional untuk mendirikan negara Yahudi di tanah Palestina. Bahkan menurut situs Jewish Virtual Library, Kongres Amerika Serikat pada tanggal 21 September 1922 telah menyetujui Deklarasi Balfour tersebut.
Pada masa-masa selanjutnya, sejak dikeluarkannya Deklarasi Balfour, konflik antara bangsa Yahudi dan Palestina terus berkecamuk. Dari sini dapat dilihat bahwa peristiwa pertama yang menyebabkan munculnya konflik antara bangsa Yahudi (kini Israel) dan Palestina adalah sejak dikeluarkannya Deklarasi Balfour. Dan pada masa-masa selanjutnya konflik yang terus berkecamuk disebabkan karena adanya aksi agresi militer bangsa Israel terhadap Palestina yang mereka klaim sebagai aksi pembalasan atas aksi terorisme (bom bunuh diri) yang dilakukan kelompok garis keras Palestina, namun pihak Palestina mengklaim bahwa aksi yang mereka lakukan merupakan aksi pembalasan terhadap tindakan agresi, pengrusakan, penggusuran, perudalan dan berbagai tindakan zionis lainnya yang dilakukan oleh Israel sehingga tampak adanya sikap saling menghujat dan menyalahkan.
Pola pemerintahan, pengambilan keputusan, penyerangan dan pola lainnya dari masing-masing negara (dalam hal ini negara Israel dan Palestina) jelas terlihat di mana dalam pemerintahan Israel tampak adanya suatu sikap, keputusan yang tetap pada pendiriannya untuk menganeksasi seluruh wilayah Palestina dengan cara memperluas batas negara, mendirikan tempat pemukiman di Tepi Barat dan Jalur Gaza, mengulur waktu, mengingkari janji, melakukan aksi sproadis namun mengklaim sebagai aksi balasan dan berbagai unilateral action-nya untuk menghambat berdirinya negara Palestina merdeka sehingga pada akhirnya tujuan mereka dapat tercapai seluruhnya. Pola serangan yang dilakukan Israel juga tampak jelas di mana serangan yang dilakukan dengan menggunakan teknologi militer yang canggih yang dipasok dari Amerika Serikat melakukan serangan di pusat-pusat atau kamp latihan kelompok militer garis keras Palestina dan sering juga melakukan bombardir terhadap pemukiman sipil yang mereka klaim tempat latihan kelopok radikal Palestina padahal pada kenyataannya adalah bukan. Pola serangan itu dapat dibaca oleh para pengamat politik dan militer bahwa sesungguhnya Israel ingin mematikan, menundukkan aktivitas militer Palestina dan dapat menganeksasi wilayah pemukiman warga Palestina yang telah dibombardir.
Sedangkan dari pihak pemerintahan Palestina, pola dan karakterisrtik negara Palestina juga terlihat di mana dengan kekuatan militer yang lemah, tanpa teknologi militer yang canggih dan hidup serba kekurangan tetap bersikeras mempertahankan wilayahnya dari agresor Israel. Keputusan yang diambil dalam setiap perundingan juga tetap pada pendiriannya yaitu mempertahankan kedaulatan pemerintah Palestina dan menginginkan Jerussalem dikembalikan kepada pemerintah Palestina. Serangan yang mereka lakukan juga selalu sama dan berpola yaitu dengan menggunakan ketapel dan aksi bom bunuh diri yang ditujukan ke pusat-pusat atau konsentrasi penduduk Yahudi.
Melalui pendekatan historical ini dapat diketahui bahwa konflik Israel-Palestina merupakan sejarah, konflik yang terus berulang. Semua itu disebut dengan pola-pola yang diulang. Dari dulu hingga saat ini pertikaian antara Israel dengan Palestina selalu diwarnai hal yang sama baik itu serangan-serangan yang dilakukan maupun perundingan yang telah dihasilkan di mana tetap saja hasil perundingan tidak dilaksanakan, tidak mencapai hasil yang diharapkan dan telah disepakati bersama. Konflik yang muncul mengundang reaksi berbagai negara untuk segera menyelesaikannya (memunculkan suatu perundingan dan kesepakatan bersama) sehingga dapat tercipta kondisi yang kondusif di kawasan Timur Tengah. Namun perundingan dan kesepakatan yang dicapai bersama itu selalu sia-sia karena muncul konflik baru. Hal ini terus berulang hingga saat ini sehingga menimbulkan sikap pesimistis dari berbagai masyarakat internasional akan terciptanya kedamaian di kawasan Timur Tengah tersebut.
Banyak pihak yang menilai konflik ini tidak akan selesai hingga keinginan Israel terpenuhi. Hal yang membedakan tiap konflik dan kesepakatan perundingan yang selalu berulang itu adalah aktornya, prosesnya, scope-nya (meliputi durasi konflik, intensitas dan daya rusaknya), dan isu yang beredar (meliputi persoalan dasar dan peristiwa yang memicu terjadinya konflik).

2. Pendekatan Philosophy
Disebut juga pendekatan etika di mana menurut pendekatan ini, aktor negara mengedepankan nilai-nilai etika, moral dengan berhubungan dengan aktor negara lain. Bersifat abstrak, spekulatif, utopian (semu). Dalam konflik Israel-Palestina, sikap yang diambil berbagai negara, organisasi negara-negara kawasan, organisasi internasional non-goverment dan masyarakat inernasional menunjukkan bahwa kalangan internasional menginginkan konflik berdarah antara Israel dan Palestina segera dihentikan. Berbagai upaya dan tindakan hendaknya lebih memikirkan sisi kemanusiaan (lebih ke arah negosiasi, perundingan, diplomasi), tidak gegabah dalam mengambil keputusan melancarkan serangan ke negara lain karena hanya akan menimbulkan korban jiwa. Telah banyak keputusan-keputusan yang lebih berpihak pada hal-hal yang terkait kemanusiaan dalam hal ini lebih berpihak kepada warga negara Palestina yang tidak berdaya sebagai korban dari serangan militer Israel yang sporadis.
Misalnya saja sejak awal mula munculnya pertikaian, PBB telah mencoba memberikan jalan keluar berupa pembagian wilayah Palestina menjadi dua bagian dan kota Jerussalem dijadikan sebagai kota internasional. Namun keputusan itu ditolak oleh kelompok bangsa Arab sementara bangsa Yahudi meski dengan keengganannya bersedia menerimanya. PBB menilai dengan jalan keluar tersebut, konflik dapat dihindari sehingga tidak mengorbankan warga sipil. Perhatian PBB terus berlanjut hingga saat ini, terutama sejak dibangunnya tembok pemisah oleh Israel di mana PBB memberikan keputusan yang mendukung keputusan hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional yang meminta Israel menghentikan pembangunan tembok pembatas di Tepi Barat. PBB juga bersedia menerima Palestina sebagai anggota PBB. Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh berbagai organisasi negara-negara kawasan seperti Liga Arab, OKI, GNB. Pada tahun 1974, Liga Arab mengakui keberadaan PLO sebagai satu-satunya legitimasi yang mewakili rakyat Palestina, dan pada tahun 1976 Palestina resmi menjadi anggota Liga Arab.
Hal ini menunjukkan bahwa dunia internasional memandang warga Palestina layak mendapatkan apa yang mereka inginkan yaitu terciptanya kehidupan yang damai, hidup berdampingan dengan negara-negara lain. Konflik yang terjadi tidak dikehendaki semua kalangan internasional karena melanggar hak asasi manusia.

3. Pendekatan Realisme
Pendekatan realisme ini sangat jelas terlihat ketika menganalisa konflik Israel-Palestina di mana tampak dalam tindakan Isarel yang selalu mengingkari kesepakatan yang telah dicapai, mengacuhkan berbagai kecaman dunia internasional dan juga berbagai resolusi PBB. Tindakan Israel tersebut dipandang para pengamat politik sebagai unilateral action. Unilateral action Israel sebenarnya sudah terlihat semenjak bangsa Yahudi mengadakan kongres di Basel, Swiss. Melalui kongres tersebut secara terang-terangan menyatakan dan meminta agar seluruh bangsa Yahudi yang berada di berbagai negara di Eropa Tengah dan Timur untuk kembali ke daerah asalnya yaitu wilayah Palestina. Tindakan tersebut semakin menguat ketika dikeluarkannya Deklarasi Balfour yang mendukung gerakan mereka. Bangsa Yahudi mulai bertindak semena-mena, Palestina yang bukan miliknya kini mereka kuasai dan mereka bebas untuk bertindak dalam segala hal termasuk melakukan penggusuran, perebutan tanah bangsa Palestina hingga pembantaian bangsa Palestina di Sabra dan Shatilla.
Bahkan pada tahun-tahun selanjutnya, unilateral action Israel mulai sporadis ketika terjadi peperangan yang dikenal dengan six-day war di mana Israel memperoleh Sinai Penisula, Gaza Strip, West Bank, dan Golan Heights yang merupakan wilayah negara lain. Hal itu mendapat tentangan keras hingga PBB pun mengeluarkan resolusi yang meminta Israel mengembalikan wilayah yang telah direbutnya tersebut. Namun Israel tidak mengindahkannya dan hingga kini daerah tersebut masih dalam kondisi yang selalu berkecamuk dan disengketakan.
Agresi militer Israel juga menunjukkan unilateral action pihak Israel. Akibatnya, bangsa Palestina melakukan aksi pembalasan berupa aksi bom bunuh diri, namun aksi ini dicap oleh Israel dan bangsa Barat sebagai aksi terorisme yang harus dibasmi. Padahal tindakan aktivis Palestina merupakan langkah untuk menunjukkan kepada masyarakat internasional bahwa mereka masih ingin tetap “exist”, tidak ingin dan tidak rela diperlakukan secara semena-mena, tidak adil dan tidak manusiawi. Hingga saat ini unilateral action Israel masih dilakukan seperti membangun tembok pemisah, mengulur pelaksanaan hasil perundingan dan hal-hal lainnya.
Melalui pendekatan ini, dapat dilihat bahwa dalam konflik Israel-Palestina, negara adalah aktor utama yang bersifat rasional dan monolith, sehingga dapat memperhitungkan cost and benefit dari setiap tindakannya demi kepentingan keamanan nasional sehingga fokus dari penganut realisme ini adalah struggle for power atau realpolitic. Tindakan Israel yang melakukan agresi, penggusuran, pembataian, pengusiran dan lain-lainnya jelas dipandang pihak Israel sebagai suatu tindakan yang menguntungkan pihaknya karena selain memperoleh wilayah hasil gusuran, juga dapat mengurangi populasi, jumlah, keberadaan bangsa Palestina yang lambat laun dipandang Israel akan tersingkir sehingga seluruh wilayah Palestina dapat dikuasai Israel. Sementara itu, berbagai tindakan yang diklaim Israel sebagai tindakan balas dendam menunjukkan bahwa Israel mencoba mempertahankan kekuasaannya.
Pada tahun 1974, Israel berada di balik pembantaian sekitar 15 ribu warga Palestina di Kamp Pengungsi Tel Zataar. Para pengungsi tersebut dibantai oleh milisi Kristen garis keras yang dipersenjatai dan dibina Pemerintah Buruh Israel. Sembilan tahun kemudian, Sabra dan Shatilla menjadi ladang pembantaian ratusan pengungsi Muslim Palestina yang diotaki Menteri Pertahanan Israel saat itu, Ariel Sharon. Pembantaian massal terakhir yang dilakukan Israel terjadi pada tanggal 25 Februari 1994. Padahal, pada tahun 1982, hanya dalam waktu dua bulan, 18 ribu orang tewas dan 30 ribu lainnya cedera yang menjadi korban kebiadaban Ariel Sharon. Bagi pemerintah Israel dan segenap warganya, teror itu adalah segala bentuk intimidasi dan kekerasan terhadap orang Yahudi, bukan untuk orang Arab.
Tindakan struggle for power juga terlihat ketika terjadi peperangan dengan beberapa negara Arab saat pertama kali dideklarasikannya negara Israel, serta ketika terjadi six-day war. Hal itu semua semata-mata ditujukan untuk mencapai cita-cita Israel dan demi kepentingan keamanan nasional. Dari pihak Palestina sendiri juga terlihat adanya struggle for power di mana aksi bom bunuh diri yang mereka lakukan selain untuk menunjukkan kepada masyarakat internasional bahwa mereka masih ingin tetap “exist”, juga untuk mempertahankan wilayah dan pemerintahan mereka.
Pandangan realisme yang menganggap bahwa sifat dasar interaksi dalam sistem internasional adalah anarki, kompetitif, kerap kali menimbulkan konflik dan kerjasama yang dibangun hanya untuk kepentingan jangka pendek juga tampak dalam konflik Israel-Palestina. Konflik antara Israel dengan Palestina telah terjadi sejak lebih dari 50 tahun yang lalu dan hingga saat ini masih belum disepakati kata damai. Berbagai kerjasama yang berupa kesepakatan untuk mengadakan pertemuan, perundingan, mengupayakan perdamaian dan gencatan senjata hanyalah suatu hal yang klise saja, untuk mengulur waktu dan menutup-nutupi sikap yang sebenarnya karena telah mendapatkan kecaman internasional sehingga dengan disepakatinya perundingan tersebut, Israel berharap pandangan dan sikap masyarakat internasional dapat berubah.
Paham realisme menganggap bahwa suatu hal yang tidak mungkin apabila power dihilangkan. Di mana untuk memperoleh segala sesuatunya maka suatu negara harus siap berperang.

4. Pendekatan Idealisme
Paham idealisme bersifat normatif, apa yang seharusnya terjadi, pentingnya peran prinsip-prinsip, hukum dan organisasi internasional dan adanya pengaruh opini publik yang suka damai, bercita-cita membentuk world goverment yang bebas dari kekuatan, kekuasaan dan kekacauan. Dengan kata lain, negara-negara saling bekerjasama dalam berbagai organisasi internasional untuk mencapai tujuan-tujuan global dan kemanusiaan.
Paham idealisme menolak bahwa hubungan internasional dapat dicapai melalui perang, sebuah negara tidak dapat mengatur dan menguasai negara lain. Perang hanya menginterpretasikan dunia yang buruk. Perang bisa dihindarkan dengan mengabaikan aturan-aturan. Menurut pandangan idealisme, manusia pada dasarnya baik, yang membuat jahat adalah institusi atau lingkungannya.
Konflik Israel-Palestina dapat kita analisa berdasarkan pendekatan idealisme. Inggris yang saat itu menguasai Palestina menyerahkan Palestina kepada PBB dengan maksud Inggris berkeinginan untuk memusatkan perhatiannya pada pembangunan di dalam negerinya dan untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi Palestina sejak dikeluarkannya Deklarasi Balfour. Diharapkan Palestina dapat menjadi negara Yahudi yang didalamnya juga terdapat bangsa Palestina sehingga mereka dapat hidup berdampingan dan tidak timbul konflik. Meskipun hal tersebut tidak tercapai, PBB tetap berusaha untuk menciptakan perdamaian di wilayah Palestina tersebut, di mana pada tanggal 29 November 1947 PBB mengeluarkan resolusi yang berisi keputusan untuk membagi wilayah Palestina menjadi dua bagian. Resolusi tersebut sebagai jalan tengah untuk mengatasi agar konflik tidak semakin meluas.
Banyak negara-negara (termasuk didalamnya pemimpin dan pejabat pemerintahan), para politikus, organisasi negara-negara kawasan, NGO’s, organisasi-organisasi internasional dan masyarakat internasional yang lebih condong kepada paham idealisme dalam melihat dan menangani konflik Israel-Palestina di mana konflik tersebut tidak semestinya terus berkepanjangan, hendaknya konflik Israel-Palestina tersebut ditangani secara global. Dan hal itu telah diwujudkan dengan berbagai tindakan pemimpin dunia seperti Presiden Mesir Hosni Mubarak, Raja Yordania Abdullah II, Sekretaris Jenderal Kofie Annan, Presiden Amerika Serikat George W. Bush, Menlu Amerika Serikat Condoleezza Rice, Presiden Palestina Mahmoud Abbas, almarhum Pemimpin PLO Yasser Arafat, almarhum mantan PM Israel Yitzak Rabin, PM Israel saat ini Ariel Sharon, PM Malaysia Abdullah Badawi, Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Perancis Jacques Chirac, Organisasi Peace, dan masih banyak pemimpin-pemimpin negara yang mendukung dan berperan serta sebagai mediator dalam proses perdamaian antara kedua negara hingga melahirkan beberapa kesepakatan damai seperti dibentuknya Komisi Kwartet yang melahirkan Peta Jalan Damai. Meskipun kesepakatan tersebut hingga saat ini belum terlaksana, dunia internasional masih menanti, bersedia membantu, menangani berbagai masalah yang timbul.
Masyarakat internasional memandang masih ada jalan keluar bagi konflik tersebut selain perang, masih banyak harapan dan kesempatan dalam berbagai kesepakatan yang telah dicapai. Masyarakat internasional mengetahui bahwa masing-masing pemimpin negara memiliki itikad baik dan telah melaksanakan sebagian besar isi kesepakatan. Mereka juga mengetahui bahwa yang menjadi kendala terlaksananya kesepakatan tersebut bukanlah dari pihak pemerintah namun dari pihak lain seperti kelompok garis keras masing-masing negara yang menyalahi aturan, tidak mau menerima hasil kesepakatan, ingin tetap mempertahankan status quo, tidak menghendaki perbaikan, juga dari pihak tentara dan penduduk sipil yang secara sengaja maupun tidak sengaja telah menciptakan situasi yang tidak kondusif.



5. Pendekatan Pluralisme
Pluralis merupakan salah satu perspektif yang berkembang pesat. Kaum pluralis memandang hubungan internasional tidak hanya terbatas pada hubungan antar negara saja tetapi juga merupakan hubungan antara individu dan kelompok kepentingan di mana negara tidak selalu sebagai aktor utama dan aktor tunggal. Aktor non-negara memiliki peranan penting dalam politik internasional seperti organisasi internasional baik pemerintahan maupun non-pemerintahan, MNCs, kelompok ataupun individu.
Dalam konflik Israel-Palestina terdapat berbagai tokoh mulai dari individu, kelompok, hingga negara dan masyarakat internasional yang turut serta baik bersikap negatif (ikut serta memperkeruh suasana) maupun yang bersikap positif (ikut serta menengahi atau menjadi mediator bagi terlaksananya perundingan bersama).
Misalnya saja negara Lebanon, Syria yang menoba memperkeruh suasana perdamaian di Timur Tengah. Begitu pula adanya kelompok garis keras Lebanon yang membantu perjuangan rakyat Palestina melawan Israel. Di samping itu Israel hingga kini masih mendapatkan kecaman, kritikan tajam yang bisa meletuskan suatu peperangan dari negara Iran. Pada saat pertama kali pecah menentang berdirinya negara Israel, banyak negara-negara Arab yang terlibat seperti Mesir, Iran, Iraq, Lebanon, Kuwait, Arab Saudi, Jordania, Suriah, dan negara Arab lainnya yang membela perjuangan rakyat Palestina, sementara di pihak Israel di bantu oleh Amerika Serikat dan Inggris (secara tidak langsung). Namun pada saat ini hampir tidak ada negara yang mencoba melibatkan diri untuk memperkeruh suasana, banyak negara saat ini yang mencoba menjadi mediator bagi kedua belah pihak seperti Mesir, Jordania, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Indonesia, Malaysia, Rusia, dan lainnya. Juga ada pula negara asing yang melibatkan diri sebagai pengamat atau observer seperti Vatikan dan Swiss.
Sedangkan tokoh-tokoh individu yang juga terkait dengan sepanjang pertikaian antara Israel dengan Palestina misalnya saja almarhum pemimpin PLO Yasser Arafat, PM Presiden Palestina saat ini Mahmoud Abbas, mantan PM Israel Ehud Barak, PM Israel saat ini Ariel Sharon, Presiden Mesir Hosni Mubarak, Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Amerika Serikat George W. Bush, Anggota Kabinet Keamanan Israel Haim Ramon, Anggota Kabinet Palestina Hisham Abbed Razek, Deputi Menteri Pertahanan Israel Zeev Boim, PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi, mantan Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri, Menlu Perancis Michael Barniev, Letjen William Ward selaku koordinator keamanan Amerika Serikat di Palestina, Menlu Amerika Serikat Condoleezza Rice, pemimpin perunding Palestina Saeb Erekat, Menlu Israel Shimon Peres, Menlu Mesir Ahmed Maher, Raja Jordania Abdullah II, dan masih banyak lagi pemimpin negara lainnya yang ikut berperan dalam proses perdamaian kedua negara ini.
Sementara itu ada juga kelompok-kelompok garis keras dari kedua negara dan juga negara lain yang semakin memperuncing permasalahan antar kedua negara seperti Hamas, Jihad Islam, Brigadir Syuhada Al-aqsa, ANO, Hisbullah, dan kelompok radikal lainnya yang sebagian besar mendukung perjuangan rakyat Palestina. Dan masih banyak lagi aktor non-negara yang turut terkait dalam pertikaian Israel-Palestina baik yang bersikap negatif maupun yang bersikap positif.
Negara juga bukan aktor rasional di mana dalam kenyataannya pembuatan kebijakan luar negeri suatu negara merupakan proses yang diwarnai konflik, kompetisi, dan kompromi antar aktor dalam negara. Dalam konflik Israel-Palestina dapat dilihat bahwa akhir-akhir ini kebijakan PM Ariel Sharon yang akan memindahkan pemukim Yahudi di Jalur Gaza mendapat reaksi keras dari masyarakat dan parlemen serta beberapa kelompok garis keras Yahudi. Begitu pula halnya dengan kebijakan Presiden Palestina saat ini yang dianggap sangat berseberangan dengan kelompok-kelompok radikal Palestina seperti Hamas. Hal inilah yang mengakibatkan kesepakatan perdamaian sulit dicapai karena banyaknya kepentingan-kepentingan baik indivdu, kelompok maupun negara yang saling berseberangan sehingga memunculkan suatu konflik yang tidak disadari akan muncul pada saat proses perdamaian berlangsung yang berimbas pada ditundanya kembali proses perdamaian tersebut.
Masalah-masalah yang ada tidak lagi terpaku pada power atau national security namun meluas pada masalah-masalah sosial, ekonomi dan lain-lain.

6. Pendekatan Legal
Menurut pendekatan legal, semua pihak yang terlibat dalam hubungan internasional mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum. Masing-masing negara ingin memiliki aturan untuk mengatur perilaku suatu negara. Paham legal lebih menekankan pada formulasi yang mengikat tetapi tidak semua negara setuju karena adanya power yang besar.
Hal ini tampak dalam upaya Komisi Kwartet menyusun Peta Jalan. Sejak dihidupkannya secara menyeluruh Proses Perdamaian Timur Tengah pada awal tahun 1990-an, Amerika Serikat selalu memainkan peranan penengah utama, dan benar-benar memainkan peranan positif yang tertentu dalam mendorong dipulihkannya perundingan damai Palestina dan Israel. Akan tetapi, sejak pemerintah Bush memegang kekuasaan awal tahun 2001, semakin menonjol kecenderungan Amerika Serikat mencoba mendominasi urusan Timur Tengah dengan mengandalkan kekuatannya. Itu jurstru manifestasi konkret politik unilateralisme yang dianut oleh pemerintah Amerika Serikat dalam urusan Timur Tengah.
Yang lebih mengecewakan adalah, Amerika Serikat belum dapat mengambil pendirian adil dalam proses penanganan urusan Palestina-Israel, melainkan selalu membela Israel, negara sekutunya, sehingga memberi pengaruh negatif berat terhadap proses perdamaian Palestina-Israel. Akibat langsungnya adalah, Israel semakin tidak segan dan sewenang-wenang karena ada yang mendukungnya, sementara hak dan tuntutan rakyat Palestina selalu diabaikan.
Negara-negara Eropa menyatakan antipati dan ketidakpuasan keras terhadap perbuatan Amerika Serikat tersebut. Uni Eropa pernah mengecam, bahwa Peta Jalan bukan milik Amerika Serikat, tapi milik 4 pihak Timur Tengah.
Keikutsertaan Amerika Serikat dalam Komisi Kwartet pun tidak lepas dari motif politik negara adidaya tersebut. Bagaimanapun, dalam politik internasional, tindakan politik luar negeri suatu negara tidak lepas dari kepentingan nasional negara bersangkutan. Hal ini pula yang terefleksi dalam implementasi politik luar negeri AS di Timur Tengah. Bergabungnya Amerika Serikat dalam Komisi Kwartet, untuk sekadar menunjukkan bahwa Amerika Serikat pun amat menentang penjajahan yang dilakukan Israel terhadap Palestina. Tindakannya ini sekaligus untuk menyejukkan hati negara-negara yang berada di kawasan Timur Tengah.
Amerika Serikat sangat berkepentingan terhadap sejumlah negara penting di kawasan Arab, seperti Saudi Arabia, Irak, dan negara-negara Timur Tengah lainnya. Bagaimanapun, kebutuhan minyak mentah Amerika Serikat masih dipasok sejumlah negara di kawasan tersebut. Amerika Serikat, sebagai salah satu negara pengonsumsi minyak mentah terbesar di dunia, sampai saat ini belum bisa bebas lepas dari ketergantungan impor minyak bumi dari wilayah Timur Tengah.
Karena itulah, demi menjaga opini masyarakat Timur Tengah, peran Amerika Serikat dalam Komisi Kwartet setidaknya menjadi aspek yang menguntungkan bagi kontinuitas relasi Amerika Serikat dengan negara-negara Arab. Adapun, untuk kepentingan resolusi konflik Israel-Palestina, sejauh ini Komisi Kwartet telah berhasil membuat Peta Jalan (road map) yang dihasilkan dari KTT Beirut 2002 tentang perdamaian. Peta jalan tersebut juga dipayungi aturan hukum yang jelas, setidaknya tiga putusan Dewan Keamanan (DK) PBB Nomor 242, Nomor 338, dan Nomor 1379, tercantum dalam rencana Peta Jalan yang diharapkan pendudukan Israel atas tanah Palestina sejak 1967 bisa segera dihentikan.
Sayangnya, implementasi Peta Jalan tersebut sulit untuk dijalankan Israel. Negara Yahudi ini enggan menuruti Peta Jalan. Setidaknya, perilaku sebagian elit politiknya, seperti PM Israel Ariel Sharon, yang menolak sebagian isi dari Peta Jalan tersebut, menunjukkan bahwa kekerasan belum sepenuhnya hilang dari Palestina. Rupanya, ambisi Sharon untuk tetap bercokol di wilayah Palestina belum pupus. Ini sungguh dilematis, di mana kontelasi hubungan internasional saat ini diwarnai relasi yang berlandaskan semangat multilateralisme, Israel justru menyimpang.
Dengan wafatnya pemimpin Palestina Yasser Arafat tahun lalu, situasi Palestina serentak berubah. Pemimpin-peminpin golongan moderat Palestina yang diwakili oleh Mahmoud Abbas dan Ahmed Qurei berhasil mengambil alih hak pimpinan Palestina dan mencoba memulai kembali proses perdamaian, sehingga Israel kehilangan alasan untuk menolak mengadakan perundingan perdamaian dengan Palestina. Pada saat ini, Amerika Serikat juga mulai meningkatkan intensitas penengahan masalah Palestina-Israel dan dengan jelas mendukung Palestina mengadakan pemilihan umum dan mendirikan negara. Begitu pula halnya dengan masyarakat internasional termasuk PBB, Uni Eropa dan Rusia.
Kenyataan menunjukkan, dalam situasi multipolarisasi seluruh dunia, upaya internasional dalam penyelesaian masalah Palestina-Israel juga memerlukan dipecahkannya pola tunggal Amerika Serikat sekarang didirikannya mekanisme penengahan multilateral. Hanya dengan itu, baru dapat direalisasi penyelesaian masalah Palestina-Israel secara adil dan rasional. Pengalaman sejarah memberitahukan, harapan perdamaian Palestina-Israel pernah berkali-kali dinyalakan dan juga berkali-kali dipadamkan. Untuk membuat obor perdamaian terus nyala, Palestina, Israel dan masyarakat internasional perlu meratakan jalan bagi perdamaian secara setapak demi setapak.

7. Pendekatan Institusional
Merupakan kelanjutan dari pendekatan legal di mana norma-norma yang telah ada diatur dan dikoordinasi. Adanya pembentukan struktur organisasi (ideal) formal yang dapat berperan serta dalam menciptakan perdamaian dengan mengimplemen-tasikan hukum internasional.
Dalam konflik antara Israel dengan Palestina, banyak negara-negara, lembaga, organisasi internasional yang terlibat untuk menyelesaikan permasalahan–permasalahan yang berkaitan dengan isu tersebut. Diantaranya:
- Komisi Kwartet (Amerika Serikat, Rusia, Uni Eropa, PBB)
Untuk kepentingan resolusi konflik Israel-Palestina, sejauh ini Komisi Kwartet telah berhasil membuat Peta Jalan (road map) yang dihasilkan dari KTT Beirut 2002. Dengan adanya Peta Jalan ini, diharapkan pendudukan Israel atas tanah Palestina sejak 1967 bisa segera dihentikan.
- Negara–negara Asia Afrika
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika yang berlangsung di Jakarta dan Bandung pada tanggal 21-24 April yang lalu, negara-negara di kawasan Asia-Afrika sepakat menjadikan kemerdekaan Palestina sebagai salah satu butir penting dalam deklarasi New Asian African Strategic Partnership (NAASP). Dimasukkannya draft kemerdekaan Palestina dalam deklarasi NAASP, merupakan salah satu bentuk dukungan penuh bangsa-bangsa Asia Afrika terhadap kemerdekaan Palestina.
- Perserikatan Bangsa-Bangsa
Dewan Keamanan PBB telah berkali–kali berusaha mengeluarkan resolusi DK PBB untuk mengutuk tindakan brutal Israel terhadap Palestina. Namun, DK gagal mengeluarkan resolusi semata-mata karena ancaman veto. Satu resolusi DK hanya bisa dikeluarkan jika minimal mendapat dukungan sembilan suara dari 15 anggota DK, dan tanpa ancaman veto dari satu negara anggota tetap DK. Sebagai informasi, DK terdiri dari 10 anggota tidak tetap dan lima anggota tetap. Hanya kelima anggota tetap yang terdiri dari China, Rusia, Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis yang memiliki hak veto. Dalam kasus resolusi untuk Israel kali ini, meski mendapat dukungan mayoritas, akhirnya mendapat veto dari Amerika Serikat. Karena itu, resolusipun batal.
- Negara Mesir
Keputusan Mesir menjadi tuan rumah pertemuan puncak di Sharm el-Sheikh mengangkat kembali peran Mesir dalam proses perdamaian Timur Tengah yang tenggelam selama empat tahun terakhir ini. Peran Mesir dalam isu Palestina sesungguhnya tak pernah terlepas sejenakpun. Kota Sharm el Sheikh, Mesir, misalnya sering kali menjadi tuan rumah pertemuan Israel-Palestina.
Situasi saat ini mengantarkan Mesir kembali berperan sebagai saudara tua Palestina. Tindakan Mesir menggelar pertemuan puncak di Sharm el-Sheikh dengan mengundang Jordania adalah bagian dari proses koordinasi di antara dua negara Arab tersebut dalam proses perdamaian.
- Negara Jordania
Bersama dengan Mesir berusaha menggerakkan proses perdamaian antara Israel dengan Palestina, diantaranya adalah dengan mengadakan pertemuan puncak di Sharm el-Sheikh, Mesir.
- Gerakan Non Blok
mendesak 114 negara anggotanya memberlakukan sanksi terhadap Israel dan juga menyerukan agar perusahaan-perusahaan yang terlibat pembangunan pagar keamanan Israel di tepi barat, dimasukkan ke dalam daftar hitam sebagai langkah hukuman terhadap pelanggaran Israel terhadap hukum internasional. Dalam deklarasi pertemuan tingkat menteri di kota Durban, Afrika Selatan tersebut, menolak akses orang dan produk dari pemukiman Yahudi ke negara anggota GNB. Malaysia sebagai ketua gerakan ini mengatakan bahwa langkah tersebut tidak harus disahkan PBB karena sekutu Israel seperti Amerika Serikat akan memvetonya. GNB juga meminta Sekjen PBB Kofi Annan mempercepat pencatatan kerugian yang ditimbulkan oleh pembangunan pagar aparteid Israel.

8. Pendekatan Radikalisme
Para penganut paham radikalisme berpendapat bahwa negara bukan satu-satunya aktor dalam hubungan internasional. Selain negara terdapat juga aktor non-negara yang mempunyai pengaruh dan kekuatannya melalui pertentangan kelas dalam hubungan ekonomi dan militer transnasional. Hal ini sangat jelas terlihat dalam pertikaian antara Israel dengan Palestina di mana hampir sebagian besar tindakan balasan atau aksi balasan rakyat Palestina terhadap agresor Israel dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal seperti Hamas, Jihad Islam, Brigadir Syuhada Al-aqsa, ANO, Hisbullah, dan kelompok radikal lainnya.
Bahkan keputusan, kebijakan politik yang diambil pemimpin Palestina pada masa pemerintahan almarhum Yasser Arafat sangat dipengaruhi oleh kelompok-kelompok radikal tersebut. Pengaruh tersebut masih dirasakan hingga saat ini di mana Presiden Palestina Mahmoud Abbas yang telah berusaha keras mengupayakan jalannya perdamaian tidak bisa berbuat banyak seperti apa yang diminta oleh Israel yaitu melucuti senjata kelompok garis keras tersebut, sehingga hingga saat ini proses perdamaian masih terganggu oleh tindakan Hamas dan yang lainnya. Presiden Mahmoud Abbas juga tidak bisa menangani aksi militer kelompok Hamas dan lainnya. Hal itu disebabkan kebijakan Presiden Mahmoud Abbas dianggap tidak sesuai dengan jalan pikiran dan keinginan para pemimpin kelompok garis keras terlebih lagi dianggap tidak mencerminkan, tidak menghargai perjuangan rakyat Palestina yang telah banyak menelan korban jiwa dalam perjuangan melawan Israel.
Dari sini dapat dilihat bahwa kelompok Hamas, Fatah, Brigadir Syuhada Al-Aqsa dan lainnya memegang peranan penting dalam proses pencapaian perdamaian di Timur Tengah. Oleh karena itu, hendaknya proses perdamaian antara Israel dan Palestina juga mengikutsertakan elemen masyarakat (dalam hal ini melalu refendum) dan pemimpin kelompok garis keras. Tanpa mereka, usaha apapun yang dicapai akan selalu ditentang dan mendapat perlawanan dari kelompok radikal tersebut meski juga memerlukan tindakan yang jujur, kooperatif dari pihak Israel sendiri yang selama ini dianggap mengulur waktu dan sering kali mengingkari berbagai kesepakatan yang telah dicapai.






Daftar Pustaka

Agung Banyu Perwita, Anak, DR. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Penerbit Rosdakarya. Bandung, 2005.
Arthur Goldschmidt, Arab League – II. Membership, Microsoft ® Encarta ® Reference Library 2005.
http:/www.meforum.org/article/575
http:/www.terrorismanswers.org/coalition/israel.html
http:/www.terrorismanswers.org/havens/palestine.html
http:/www.terrorismanswers.org/groups/abunidal.html
http:/www.terrorismanswers.org/groups/alaqsa.html
http:/www.terrorismanswers.org/groups/alqaeda.html
http:/www.terrorismanswers.org/groups/hamas.html
http:/www.terrorismanswers.org/groups/hezbollah.html
http:/www.terrorismanswers.org/policy/israel.html
Kompas. Palestina Menuduh Israel Ulur Waktu. 14 September 2000.
Kompas. Arafat dan Peres Bertemu 90 Menit. 17 Juli 2001.
Kompas. Bom Bunuh Diri Kembali Guncang Haifa. 10 Desember 2001.
Kompas. Israel Ingin Akhiri Mogok Makan Tahanan Palestina. 17 Agustus 2004.
Kompas. Palestina Puasa Sehari untuk Menunjukkan Solidaritas. 19 Agustus 2004.
Kompas. AS Diam-diam Dukung Pemukiman Israel di Tepi Barat. 23 Agustus 2004.
Kompas. Hamas Berjanji Terus Lancarkan Perlawanan. 2 September 2004.
Kompas. Israel Targetkan Hamas. 2 September 2004.
Kompas. Israel Tewaskan 15 Warga Palestina. 8 September 2004.
Kuncahoyo, Trias. Dunia Kini Tanpa Yasser Arafat, Kompas, 12 November 2004.
Kompas. Israel Bebaskan 900 Tawanan Palestina dan Serahkan Jericho. 5 Februari 2005.
Kompas. Israel Janji Lebih Fleksibel. 7 Februari 2005.
Online Journal of Peace and Conflict Resolution, Summer 2001.
Pikiran Rakyat. Tentara Israel Hancurkan Puluhan Rumah di Rafah. 6 Agustus 2004.
Pikiran Rakyat. Negara GNB Serukan Sanksi Terhadap Israel. 21 Agustus 2004.
Pikiran Rakyat. Ariel Sharon “Sangat Puas”. 28 Januari 2005.

Pikiran Rakyat. Israel Umumkan Penghentian Operasi Intensif di Jalur Gaza. 30 Januari 2005.
Pikiran Rakyat. Israel Akan Segera Tarik Pasukan dari Tepi Barat. 31 Januari 2005.
Pikiran Rakyat. Rusia Dukung Palestina Hentikan Konfrontasi. 1 Februari 2005.
Pikiran Rakyat. KTT Israel-Palestina Digelar 8 Februari 2005. 7 Februari 2005.
Pikiran Rakyat. Palestina dan Israel Memulai Era Baru. 15 Februari 2005.
Pikiran Rakyat. Kabinet Israel Setujui Pemindahan Pemukiman. 21 Februari 2005.
Reich, Bernard. Israel – VII. History, Microsoft ® Encarta ® Reference Library 2005. © 1993-2004 Microsoft Corporation. All rights reserved
Sriyono, A. Agus. Hubungan Internasional “Percikan Pemikiran Diplomat Indonesia”. Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, 2004.
Stein, Kenneth. Palestine Libertionl Organization – III. History, Microsoft ® Encarta ® Reference Library 2005. © 1993-2004 Microsoft Corporation. All rights reserved
Suara Pembaruan. Israel Akan Bebaskan 900 Tahanan Palestina. 24 Januari 2005.
Tempo. Baku Tembak Tetap Terjadi di Palestina. 11 Februari 2005.
Tempo. Perancis Usulkan Pembicaraan Damai Timur Tengah Akhir 2005. 2 Maret 2005.
Wardoyo, Broto. Gonjang-ganjing Perdamaian. Kompas. 22 Februari 2005.
Wardoyo, Broto. Hubungan Uni Eropa-Israel. Kompas. 6 September 2004.



[1] Muhammad Gufran. 2004. Perjalanan Menuju Tanah yang Dijanjikan-Kongres Basel. Hubungan Internasional: Percikan Pemikiran Diplomat Indonesia. Jakarta: Gramedia, hal. 110
[2] Trias Kuncahoyo, “Dunia Kini Tanpa Yasser Arafat”, Kompas, Jumat, 12 November 2004.
[3] Muhammad Gufran. 2004. Perjalanan Menuju Tanah yang Dijanjikan-Deklarasi Balfour. Hubungan Internasional: Percikan Pemikiran Diplomat Indonesia. Jakarta: Gramedia, hal. 111
[4] Terdapat dua tahun yang berbeda, sumber Microsoft Encarta 2005 menyebutkan tahun 1939, namun Trias Kuncahoyo menuliskan kebijakan tersebut dikeluarkan pada tahun 1922.
[5] Trias Kuncahoyo, Op. Cit..
[6] Bernard Reich, Op. Cit..
[7] Arthur Goldschmidt, Arab League – II. Membership, Microsoft ® Encarta ® Reference Library 2005.
[8] Kenneth Stein, Palestine Libertionl Organization – III. History, Microsoft ® Encarta ® Reference Library 2005. © 1993-2004 Microsoft Corporation. All rights reserved
[9] Muhammad Gufran. 2004. Perjalanan Menuju Tanah yang Dijanjikan-Konflik Berdarah Berkepanjangan. Hubungan Internasional: Percikan Pemikiran Diplomat Indonesia. Jakarta: Gramedia, hal. 112
[10] Muhammad Gufran. 2004. Penyelesaian konflik Palestina-Israel: Perlu Ada Kompensasi Bagi Palestina-Apa yang Dimiliki Palestina?. Hubungan Internasional: Percikan Pemikiran Diplomat Indonesia. Jakarta: Gramedia, hal. 103
[11] Muhammad Gufran. 2004. Perjalanan Menuju Tanah yang Dijanjikan-Peta jalan Buntu?. Hubungan Internasional: Percikan Pemikiran Diplomat Indonesia. Jakarta: Gramedia, hal. 115
[12] Muhammad Gufran. 2004. Penyelesaian konflik Palestina-Israel: Ketidakadilan atau Kaelemahan Dunia. Hubungan Internasional: Percikan Pemikiran Diplomat Indonesia. Jakarta: Gramedia, hal. 102
[13] www.terorismanswers.org/policy/israel.html
[14] “Arafat Akui Kesalahan Pemerintahannya”, Pikiran Rakyat. 19 Agustus 2004.
[15] “Malaysia Serukan Gerakan Global Bela Palestina”’ Media Indonesia. 23 April 2004.
[16] Broto Wardoyo, “Hubungan Uni Eropa-Israel”, Pikiran Rakyat. 14 September 2004.
[17] “Negara GNB Serukan Sanksi Terhadap Israel”, Pikiran Rakyat. 21 Agustus 2004.
[18] “Ariel Sharon Sangat Puas”, Pikiran Rakyat. 28 Januari 2005.
[19] Ibid.
[20] “Perancis Usulkan Pembicaraan Damai Timur Tengah Akhir 2005”, Tempo. 02 Maret 2005