Selasa, 15 Januari 2008

Analisis Ambalat

BAB I
PENDAHULUAN

Setelah pulau Sipadan dan Ligitan jatuh ke Malaysia, kini Malaysia mengklaim blok Ambalat sebagai milik mereka. Ambalat adalah sebuah blok yang kaya akan sumber daya minyak. Ambalat diklaim oleh pihak Malaysia setelah pengadilan Internasional memberikan pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia.
Yang unik adalah pengadilan Internasional membuat keputusan tersebut karena pihak Malaysia terlihat ’serius’ untuk memiliki Sipadan dan Ligitan. Sedangkan Indonesia sendiri sudah ’serius’ mengelola blok Ambalat sejak tahun 80-an tanpa ada protes dari pihak Malaysia. Klaim Malaysia sendiri baru diketahui dunia dari perjanjian dari Malaysia untuk menyerahkan penggalian sumber daya minyak di sektor Ambalat kepada Shell.

latar belakang masalah
Pada tanggal 16 Februari 2005, Petronas Malaysia memberi hak konsesi minyak kepada perusahaan minyak Inggris/Belanda, Shell, di Laut Sulawesi, perairan sebelah timur Pulau Kalimantan[1]. Menurut Juru Bicara Departemen Luar Negeri Indonesia pada waktu itu, Marty Natalegawa, hal ini merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan Indonesia.
Indonesia tidak membiarkan dan mengirimkan surat yang berisi protes kepada Malaysia. Menurut Direktur Perjanjian Internasional Politik, Keamanan, dan Kewilayahan Departemen Luar Negeri, Arif Havas Oegroseno, dari berbagai peraturan internasional, salah satunya Konvensi Hukum Laut Internasional, perairan di timur Kalimantan Timur itu jelas merupakan wilayah kedaulatan RI[2].
Menanggapi surat protes dari Indonesia, PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi menyatakan bahwa konsesi tersebut berada dalam wilayah territorial Malaysia. Dengan alasan pengukuran garis batas baru setelah Sipadan-Ligitan, wilayah tersebut secara resmi dinyatakan merupakan wilayah kedaulatan Malaysia. Lokasi yang dinamai Blok Ambalat dan Ambalat Timur itu disebut sebagai Blok Y dan Blok Z oleh Malaysia (lihat gambar pada lampiran)[3].
Malaysia telah mengklaim wilayah minyak di perairan sebelah timur Pulau Kalimantan itu sejak lama, dan telah diprotes oleh Indonesia sejak tahun 1980, namun tidak digubris.
Untuk mengamankan wilayah Ambalat, Indonesia menyiagakan 5 kapal perang Indonesia. Tiga kapal telah berada di perairan yang dipersengketakan (KRI Rencong-622, KRI Wiratno-879, dan KRI Nuku-873), sedangkan dua lagi direncanakan menyusul. Hal ini dijelaskan oleh Komandan Pangkalan AL Tarakan Letnan Kolonel Ibnu Parna[4].
Salah satu pesawat pengintai Malaysia, pesawat intai maritim Tentara Laut Diraja Malaysia (TLDM) jenis Beech Craft B 200 T Super King sempat melintas pada jarak yang sangat dekat dengan KRI Wiratno yang sedang berpatroli.
Menteri Luar Negeri Malaysia, Syed Hamid Albar, mencoba meredakan ketegangan hubungan dengan Indonesia melalui ajakan berdiskusi. Komentar tersebut muncul sehari setelah RI – melalui juru bicara TNI AL Laksamana Pertama Abdul Malik Yusuf – mengirimkan surat yang menjelaskan keberatan Indonesia dan masuknya sebuah pesawat militer Malaysia ke wilayah udara Indonesia (lihat gambar pada lampiran)[5].
Sabtu, 5 Maret 2005, kapal perang kedua negara saling berhadapan di perairan sekitar Karang Unarang mulai sekitar pukul 10.15. Saat itu sempat terjadi adu argumen mengenai kedaulatan kedua negara. Lalu, kapal perang Malaysia, TLDM KD Kerambit menjauhi perairan Indonesia dengan dibuntuti KRI Rencong hingga jarak 300 yard[6].
Indonesia akan menambah armada menjadi 7 kapal (antara lain KRI KS Tubun, KRI Tongkol, dan KRI Singa). Malaysia menegaskan tidak akan menggunakan kekuatan militer untuk menyelesaikan sengketa dengan Indonesia. Sejauh ini, Malaysia telah mengerahkan 4 kapal perang (KD Sri Malaka, KD Kerambit, KD Paus, dan KD Baung).
Minggu, 6 Maret, TLDM KD Kerambit kembali memasuki wilayah Indonesia, diikuti dengan munculnya pesawat intai maritim Malaysia jenis Beech Craft B 200 T Super King yang melakukan manuver sebanyak enam kali[7]. Sehari sesudahnya, Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono meninjau kawasan perbatasan RI-Malaysia yang dipersengketakan dengan menaiki KRI KS Tubun (lihat gambar pada lampiran)[8].
Ketegangan di daerah perbatasan RI-Malaysia di wilayah Amabalat cenderung mereda pada hari Rabu, 9 Maret 2005. Pihak Malaysia menarik sejumlah armada tempurnya di wilayah perbatasan dan armada TNI AL kemudian melakukan hal serupa.
Setelah melakukan pertemuan, Menteri Luar Negeri Malaysia, Syed Hamid Jaafar Albar dan Menteri Luar Negeri Indonesia, Hassan Wirajuda bersepakat untuk menyelesaikan masalah sengketa perbatasan melalui jalur diplomasi. Kedua negara juga setuju mengambil langkah yang dibutuhkan untuk mengurangi tumbuhnya ketegangan yang telah berkembang dalam beberapa hari sebelumnya. Disepakati juga bahwa tim teknis kedua negara akan bertemu pada 22-23 Maret mendatang[9].
Walaupun kedua negara telah menyepakati jalur diplomasi untuk menyelesaikan masalah sengketa Ambalat, namun TNI tetap disiagakan di kawasan tersebut. Tujuh KRI dan tiga pesawat akan dikerahkan untuk memantau perkembangan.
Pertemuan antara tim teknis Indonesia dan Malaysia untuk membahas penyelesaian sengketa wilayah Ambalat berakhir pada hari Rabu, 23 Maret 2005. Pertemuan itu menghasilkan rencana kerja untuk menyelesaikan masalah sengketa wilayah tersebut[10]. Ada beberapa kemajuan yang dicapai, antara lain posisi kedua pihak menjadi jelas, terutama posisi Malaysia dalam mengukur garis batasnya yang selama ini dipertanyakan oleh Indonesia.
Indonesia menegaskan kembali posisinya sesuai dengan ketentuan PBB soal Hukum Laut (UNCLOS). Indonesia tidak dapat menerima penyelesaian Ambalat lewat pengelolaan bersama di kawasan tersebut.
Pada tanggal 8 April 2005, Kapal Diraja Rencong milik Malaysia “diserempet” KRI Tedong Naga sekitar pukul 06.15[11]. Sebelumnya, KRI Tedong Naga sudah berkali-kali memperingatkan KD Rencong yang berkali-kali melakukan manuver yang membahayakan pembangunan mercusuar di perairan Karang Unarang. Namun, peringatan tersebut tidak dihiraukan.
Akhirnya, KRI Tedong Naga mendekati KD Rencong untuk mengusir keluar dari wilayah perairan Indonesia. Dalam upaya tersebut, terjadi tiga kali “serempetan” yang menyebabkan lambung sebelah kanan kapal Malaysia itu rusak. Kapal perang Malaysia tersebut lalu bergerak menuju pangkalannya di Tawau, Malaysia. Masalah ini dianggap selesai dalam pertemuan antara Kepala Staf TNI AL Laksamana Madya TNI, Slamet Subijanto dan Panglima Tentara Laut Diraja Malaysia (TLDM), Laksamana Dato’ Sri Mohd Anwar Bin HJ Mohd Nor.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, Pemerintah Indonesia tidak akan mengorbankan kedaulatan, hak, dan wilayah nasional Indonesia di perairan Ambalat, Kalimantan Timur. “Kita akan lakukan diplomasi dan perundingan dengan sangat kuat untuk memeprtahankan hak dan kedaulatan kita,” katanya[12]

KERANGKA PEMIKIRAN















BAB II
ANALISIS

Sejarah Ambalat
Sejarah blok Ambalat bisa ditelusuri dari sejarah sejak zaman kolonial Belanda, dimana Inggris dan Belanda melakukan perjanjian-perjanjian untuk membagi-bagi wilayah jajahannya. Pada tahun 1824, Belanda mengadakan perjanjian dengan Inggris yang membuat Belanda memiliki kedaulatan atas wilayah Indonesia dan Inggris memiliki kekuasaan pada daerah Malaysia. Hal ini dilakukan Belanda dan Inggris untuk menjaga monopoli mereka di daerah jajahan masing-masing. Pada tahun 1840, Inggris secara sepihak melanggar perjanjiannya dengan Belanda. James Brooke memperbesar wilayah kekuasaannya di Sarawak agar Belanda tidak menguasai seluruh pulau Borneo. Karena keadaan ini, Belanda dan Inggris sepakat untuk membagi pulau Borneo menjadi dua admistrasi. Hal ini akhirnya terealisasi pada konvensi 1891[13].
Indonesia adalah negara kepulauan dengan jumlah pulau yang mencapai 17,508 jumlahnya[14]. Pada tahun 1957, Perdana Menteri RI pada 13 Desember 1957, Ir. Djuanda, atas nama Pemerintah Indonesia mengeluarkan pernyataan mengenai kewilayahan Indonesia yang menganut konsep Nusantara sebagai negara bahari, dan menetapkan batas-batas wilayah NKRI[15] . Deklarasi Juanda diakui oleh masyarakat Internasional dengan disetujuinya Konvensi Hukum Laut oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) di Teluk Montego, Jamaika, pada 1982, dan berlaku sejak 16 November 1994. Pada tahun 1980 juga, Pemerintah Indonesia mengumumkan tentang ZZEI, tanggal 21 Maret 1980, yang menyatakan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia selebar 200 mil diukur dari garis pangkal wilayah laut negara Indonesia. Konsepsi itu menyatukan wilayah Indonesia. Di antara pulau-pulau kita tidak ada laut bebas, karena sebagai negara kepulauan, Indonesia boleh menarik garis pangkal (baselines-nya) dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar. Hal itu diundangkan dengan UU No 6/1996 tentang Perairan Indonesia untuk menggantikan UU Prp No 4/1960 sebagai implementasi UNCLOS 1982 dalam hukum nasional Indonesia[16].
Nama Ambalat mencuat saat Indonesia dan Malaysia memberikan konsensi eksplorasi blok ambalat kepada dua perusahaan penambangan minyak yang berbeda. Indonesia telah memberi izin kepada ENI (Italia) dan Unocal (AS), sementara Shell mengantongi izin dari Malaysia[17].

Ambalat bukan pulau
Ini adalah sebuah kesalahan serius, dengan memandang Ambalat sebagai sebuah pulau. Dalam konsep kedaulatan, dikenal istilah kedaulatan penuh (sovereignty) dan hak untuk berdaulat (sovereign rights). Keduanya adalah hal yang benar-benar berbeda dan perlu diperhatikan sungguh-sungguh. Kedaulatan penuh berlaku terhadap wilayah darat (termasuk pulau) dan wilayah perairan pedalaman (atau perairan kepulauan, untuk kasus Indonesia) dan laut teritorial. Jika Ambalat dianggap pulau oleh sebagian orang, artinya mereka pun berpikir bahwa pada Ambalat berlaku kedaulatan penuh. Ini berarti bahwa jika sebagain orang menganggap Ambalat adalah milik Indonesia, Malaysia akan dianggap merebut kedaulatan penuh tersebut dan wajar jika ‘perang’ dan ‘ganyang’ adalah jawabannya. Sekali lagi, Ambalat bukanlah pulau melainkan wilayah dasar laut yang diduga (dengan data) mengandung cadangan minyak dan gas bumi. Dengan kata lain, berbicara tentang Ambalat, berarti berbicara tentang wilayah dasar laut/seabed. Melihat jaraknya dari pulau Kalimantan (Borneo), Ambalat berada pada Zona Ekonomi Eksklusif kedua negara atau bahkan Landas Kontinen, karena berkaitan dengan dasar laut.

Isu – isu strategis Ambalat
Kasus Ambalat ini memang tak boleh disederhanakan sekadar sebagai persoalan kedaulatan (sovereignty). Ada beragam persoalan yang ada di bawah permukaan.
1. Persoalan hukum terkait dengan klaim dua pihak
Pulau-pulau yang terletak di garis terluar negara tersebut menjadi penentu kepastian tiga jenis batas di laut, yaitu batas teritorial laut (berhubungan dengan kepastian garis batas di laut); batas landas kontinen (berhubungan dengan sumber daya alam nonhayati di dasar laut); dan batas Zona Ekonomi Eksklusif (berhubungan dengan sumber daya perikanan).
2. kepentingan ekonomi
Bermainnya kepentingan bisnis internasional yang memeroleh konsesi minyak dan gas dari kedua negara. Nama Ambalat mencuat saat Indonesia dan Malaysia memberikan konsensi eksplorasi blok ambalat kepada dua perusahaan penambangan minyak yang berbeda. Indonesia telah memberi izin kepada ENI (Italia) dan Unocal (AS), sementara Shell mengantongi izin dari Malaysia[18].

3. Persoalan penjagaan daerah perbatasan yang lemah.
Pihak Malaysia, akan tetap melanjutkan pengawasan dan penjagaan di daerah perairannya yang terdapat minyak, termasuk daerah perbatasan yang bersebelahan dengan negara tetangga. Dia mengatakan, penjagaan di perusahaan minyak milik Petronas, Malaysia, akan diperketat dan perusahaan minyak yang berasal dari negara lain menjadi tanggung jawab aparat keamanan negara tersebut untuk memastikan bahwa negara mereka tetap aman.
Pesawat Super King milik Malaysia sudah dua kali melewati batas wilayah udara Indonesia. Terakhir, pesawat pengintai tersebut terbang di atas tiga kapal perang Indonesia yang tengah berpatroli, Kamis, sekitar pukul 15.20 WITA. Menurut dia, pesawat tersebut telah melanggar peraturan pelayaran internasional. Bahkan, terbang selama 10 menit berputar-putar di atas kapal perang Indonesia.
Menurut Marsetio, tiga kapal perang Indonesia yakni KRI Nuku, KRI Wiratno, dan KRI Rencong saat itu tengah berpatroli membentuk suatu gugus tugas. Namun, tak lama kemudian pesawat Super King melintas di atas tiga kapal itu. Setiap kekuatan militer asing yang melanggar perbatasan Indonesia, menurut dia, seharusnya segera diusir. Hal itu telah diatur dalam Undang Undang (UU) No 17 Tahun 1985 tentang ratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut.

Bukti kuat pemilikan indo
Secara hukum serta berdasarkan konsensus Mahkamah Internasional, Indonesia pemilik sah wilayah Ambalat. Jika kasus ini kembali diajukan ke Mahkamah Internasional, Indonesia memiliki alat bukti kuat mengenai kepemilikan kawasan tersebut sebagai bagian dari wilayah Nusantara. Bukti-bukti yang dimiliki oleh Indonesia adalah:
· Indonesia adalah Negara Kepulauan (archipelagic state). Deklarasi Negara Kepulauan ini telah dimulai ketika diterbitkan Deklarasi Djuanda tahun 1957, lalu diikuti Prp No. 4/1960 tentang Perairan Indonesia. Deklarasi Negara Kepulauan ini juga telah disahkan oleh The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982 Bagian IV. Isi deklarasi UNCLOS 1982 antara lain ‘di antara pulau-pulau Indonesia tidak ada laut bebas, dan sebagai Negara Kepulauan, Indonesia boleh menarik garis pangkal (baselines) dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar. Malaysia bukanlah negara kepulauan, namun sebagai negara pantai biasa yang hanya boleh memakai garis pangkal biasa (normal baselines) atau garis pangkal lurus (straight baselines) jika syarat-syarat tertentu dipenuhi. Oleh karena itu, Malaysia seharusnya tidak menyentuh Ambalat, karena Malaysia hanya bisa menarik baselines dari Negara Bagian Sabah, bukan dari pulau Sipadan dan Ligitan.
· Indonesia adalah negera kelautan yang memiliki bukti dan dokumen sejak peninggalan pemerintah Belanda yang sangat kuat mengenai Nusantara yang memuat hukum laut dan batas garis pangkal nusantara dan batas laut dasar sampai pantai dasar serta di mana posisi perairan Indonesia berada sampai 200 mil dari Zona Ekonomi Eksklusif. Sementara mereka baru menetapkan hukum laut dan mengklaim kepemilikan Ambalat tahun 1979. Dengan demikian mereka secara hukum tidak mempunyai hak cukup kuat sebagai bukti kepemilikan Ambalat.[19]
· Berdasarkan deklarasi Juanda 1957 lalu diikuti UU Prp No 4/1960 tentang Perairan Indonesia, tim negosiasi Indonesia menawarkan konsep "Negara Kepulauan" untuk dapat diterima di Konferensi Hukum Laut Perseriktan Bangsa-Bangsa (PBB) III, sehingga dalam "The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982" dicantumkan Bagian IV mengenai negara kepulauan. Di antara pulau-pulau kita tidak ada laut bebas, karena sebagai negara kepulauan, Indonesia boleh menarik garis pangkal (baselines-nya) dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar (the outermost points of the outermost islands and drying reefs). Dengan demikian, PBB pun mengakui kepemilikan Indonesia atas blok itu.[20]
· Hal itu diundangkan dengan UU No 6/1996 tentang Perairan Indonesia untuk menggantikan UU Prp No 4/1960 sebagai implementasi UNCLOS 1982 dalam hukum nasional kita.[21]
· Tidak ada kesepakatan garis batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia di Laut Sulawesi. Kesepakatan Dikatakan, Indonesia adalah negara kelautan yang memiliki bukti dan dokumen sejak peninggalan pemerintah Belanda yang sangat kuat mengenai Nusantara yang memuat hukum laut dan batas garis pangkal nusantara dan batas laut dasar sampai pantai dasar serta di mana posisi perairan Indonesia berada sampai 200 mil dari Zona Ekonomi Eksklusif. Sementara mereka baru menetapkan hukum laut dan mengklaim kepemilikan Ambalat tahun 1979.
· garis batas antara Indonesia dan Malaysia, yaitu mengenai Selat Malaka dan Laut Cina Selatan sehingga dalam kesepakatan itu jelas kawasan apa saja yang menjadi kepemilikan Indonesia.
· Kepulauan Ambalat merupakan bagian dari Laut Sulawesi berdasarkan patahan dan kontinentalnya dan bukan bagian dari kalimantan. seharusnya Malaysia mengetahui bahwa dalam konvensi hukum laut sendiri tidak dibenarkan:[22]
1. An island is a naturally formed area of land, surrounded by water, which is above water at high tide.
2. Except as provided for in paragraph 3, the territorial sea, the contiguous zone, the exclusive economic zone and the continental shelf of an island are determined in accordance with the provisions of this Convention applicable to other land territory.
3. Rocks which cannot sustain human habitation or economic life of their own shall have no exclusive economic zone or continental shelf. (UNCLOS, Regime of islands (VIII), Pasal 121)
· Selain itu, Indonesia telah sejak lama bahkan lebih dulu dari Malaysia melakukan. kegiatan penambangan migas di lokasi yang disengketakan itu. Pemerintah Indonesia menjadi Blok Ambalat dan Blok East Ambalat. Blok Ambalat dikelola kontraktor migas ENI asal Italia sejak tahun 1999, sementara Blok East Ambalat dikelola Unocal Indonesia Ventures Ltd. asal Amerika sejak Desember 2004. Pemerintah Malaysia menyebut Blok Ambalat sebagai ND 6 atau Blok Y, sedangkan blok East Ambalat sebagai ND 7 atau Blok Z. Pemberian konsesi minyak di perairan tersebut memang lebih dulu dilakukan Indonesia kepada berbagai perusahaan minyak dunia, termasuk Shell, sejak tahun 1960-an; antara lain kepada Total Indonesie untuk Blok Bunyu sejak 1967 yang dilanjutkan dengan konsesi kepada Hadson Bunyu BV pada 1985. Konsesi lainnya diberikan kepada Beyond Petroleum (BP) untuk Blok North East Kalimantan Offshore dan ENI Bukat Ltd. Italia untuk Blok Bukat pada 1988.[23]

Klaim Malaysia
Terhadap kasus Ambalat, kejadiannya sangat berbeda. Indonesia telah secara terus menerus mengklaim wilayah tersebut sejak zaman penjajah Belanda. Indonesia adalah Negara Kepulauan (archipelagic state) Deklarasi Negara Kepulauan ini telah dimulai ketika diterbitkan Deklarasi Djuanda tahun 1957, lalu diikuti Prp No. 4/1960 tentang Perairan Indonesia. Deklarasi Negara Kepulauan ini juga telah disahkan oleh The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982 Bagian IV. Isi deklarasi UNCLOS 1982 antara lain ‘di antara pulau-pulau Indonesia tidak ada laut bebas, dan sebagai Negara Kepulauan, Indonesia boleh menarik garis pangkal (baselines) dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar. Malaysia bukanlah negara kepulauan, namun sebagai negara pantai biasa yang hanya boleh memakai garis pangkal biasa (normal baselines) atau garis pangkal lurus (straight baselines) jika syarat-syarat tertentu dipenuhi. Oleh karena itu, Malaysia seharusnya tidak menyentuh Ambalat, karena Malaysia hanya bisa menarik baselines dari Negara Bagian Sabah, bukan dari pulau Sipadan dan Ligitan. Diberikannya kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia oleh ICJ pada tahun 2002 melahirkan potensi berubahnya konfigurasi garis pangkal Indonesia dan Malaysia. Garis pangkal Indonesia kini tidak lagi menggunakan kedua pulau tersebut sebagai titik pangkal sehingga zona laut yang bisa diklaim akan berubah dan cenderung menyempit. Sementara itu, Malaysia bisa saja menggunakan kedua pulau tersebut sebagai titik pangkal yang konsekuensinya adalah wilayah laut yang bisa diklaim akan melebar ke bagian selatan. Ini juga yang memperkuat dasar klaim Malaysia terhadap ambalat. Namun demikian, tetap ada kemungkinan Indonesia menolak memberikan peran penuh (full effect) kepada kedua pulau tersebut sehingga tidak terlalu besar pengaruhnya terhadap klaim malaysia. Jika Malaysia berargumentasi ‘tiap pulau berhak mempunyai laut territorial, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinennya sendiri’, maka menurut UNCLOS pasal 121, hal itu dapat dibenarkan. Namun rezim penetapan batas landas kontinen mempunyai specific rule yang membuktikan keberadaan pulau-pulau yang relatively small, socially and economically insignificant tidak akan dianggap sebagai special circumtation dalam penentuan garis batas landas kontinen. Apakah Malaysia tidak berhak mengklaim Ambalat? pendapat yang menyatakan bahwa Malaysia bukanlah negara kepulauan sehingga tidak berhak atas laut territorial adalah sangat keliru. Menurut Konvensi hukum laut, sebuah negara pantai (negara yang wilayah daratannya secara langsung bersentuhan dengan laut) berhak atas zona maritim laut teritorial, EEZ, dan landas kontinen sepanjang syarat-syarat (jarak dan geologis) memungkinkan. Dalam hal ini, tidak diragukan lagi bahwa Indonesia dan Malaysia yang sama-sama telah meratifikasi UNCLOS III memang berhak untuk mengklaim wilayah laut. Hanya saja, seperti dapat diduga, memang akan terjadi pertampalan atau tumpang-tindih klaim antar kedua negara. Ambalat, di satu sisi, berada pada klaim tumpang tindih ini. Dengan demikian, Malaysia secara hukum memang berhak atas klaim tersebut.
· Pemerintah Malaysia menggunakan Peta Wilayah Malaysia 1979 yang secara unilateral memasukkan wilayah Ambalat sebagai wilayahnya sebagai dasar klaim tersebut. Padahal peta ini sudah diprotes Indonesia sejak lama, namun tidak digubris.
· Malaysia mengklaim 12 mil laut yang berada di sekitar Pulau Karang Ambalat. Itu artinya, menurut Marsetio, batas wilayah laut Malaysia jika dihitung dari Pulau Sipadan dan Ligitan sudah sejauh 70 mil.
· Malaysia mengklaim wilayah di sebelah timur Kalimantan Timur itu miliknya. Malaysia menyebut wilayah Ambalat sebagai Blok XYZ berdasarkan peta yang dibuatnya pada 1979. Indonesia menyebut blok yang sama sebagai Blok Ambalat dan Blok East Ambalat. Di Blok Ambalat, Indonesia telah memberikan konsesi eksplorasi kepada ENI (Italia) pada 1999. Sementara itu, Blok East Ambalat diberikan kepada Unocal (Amerika Serikat) pada 2004.
· Malaysia mengatakan belum siap untuk melakukan dialog dengan Indonesia pada bulan Juli 2004, karena sedang melakukan survei titik dasar (precise location) dari peta 1979.
· Indonesia mulai memberikan konsesi eksplorasi kepada berbagai perusahaan minyak pada 1961 dan berjalan terus.. Masalah muncul ketika Malaysia membuat peta secara sepihak pada 1979. Ditambah lagi bahwa, Malaysia merasa lebih berperan dalam proses pembangunan Ambalat
· Arif mengatakan, peta itu diprotes bukan hanya oleh Indonesia, tapi juga Singapura, Filipina, Cina, Thailand, dan Vietnam. Inggris pun melayangkan protes atas nama Brunei Darussalam, saat negeri mungil di belahan utara Pulau Kalimantan itu belum merdeka. "Legitimasi peta ini dipertanyakan banyak orang sampai sekarang," katanya.
· Garis dasar adalah garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar. apabila tarik dari garis lurus itu, Ambalat masuk di dalamnya dan bahkan lebih jauh ke luar lagi. Sikap itu sudah dicantumkan Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1960, yang kemudian diakui dalam Konvensi Hukum Laut 1982.
· Bangsa Indonesia berhasil memperjuangkan konsep hukum negara kepulauan (archipelagic state) hingga diakui secara internasional. Pengakuan itu terabadikan dengan pemuatan ketentuan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan dalam Bab IV Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Konvensi ini ditetapkan dalam Konferensi Ketiga PBB tentang Hukum Laut di Montego Bay, Jamaica, pada 10 Desember 1982.
· Masalah yang dihadapi Indonesia saat ini terkait dengan kasus Sipadan dan Ligitan. Masalahnya, pada saat berseteru dengan Malaysia dalam kasus Sipadan dan Ligitan, Indonesia tidak meminta Mahkamah Internasional memutuskan garis perbatasan laut sekaligus. Indonesia tidak pernah merundingkannya.
Dalam kelaziman hukum internasional, karena Malaysia tidak memprotes, itu berarti pengakuan terhadap sikap Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 4 Tahun 1960. Malaysia, baru mulai mengajukan nota protes pada 2004 setelah menang dalam kasus Pulau Sipadan-Ligitan.
ü Pada 1998 Indonesia memberikan konsesi kepada Shell untuk melakukan eksplorasi minyak. Malaysia tahu itu, tapi tidak memprotes. Akhir 2004, saat Indonesia menawarkan konsesi blok baru di Ambalat, tiba-tiba Malaysia protes. "Kita katakan bahwa kita tak bisa menerima protes mereka, karena itu wilayah kita." Karena dasar klaimnya adalah peta 1979 yang diprotes banyak pihak, menurut Arif, Malaysia sama sekali tidak punya dasar hukum.
ü Arif menandaskan keputusan penentuan kedaulatan atas dua pulau ini (Sipadan-Ligitan) tidak mempunyai direct barring terhadap delimitasi landas kontinen, keputusan ICJ dalam kasus Sipadan-Ligitan sama sekali tidak bisa menjadi dasar klaim Malaysia. "Keputusan ICJ pada 17 Desember 2002 adalah keputusan menyangkut kedaulatan Sipadan dan Ligitan," katanya. Lalu, kata Arif, hakim menegaskan, kedaulatan atas dua pulau tak berpenghuni dan batas landas kontinen adalah dua hal yang sangat berbeda.
Hakim ICJ berpendapat, masalah delimitasi (garis batas) landas kontinen harus dipandang dengan sudut pandang berbeda, yaitu Konvensi Hukum Laut 1982. Sampai kini, garis landas kontinen yang diakui dunia adalah garis yang ditetapkan Indonesia dalam UU Nomor 1960. Dalam Konvensi Hukum Laut, landas kontinen atau continental shelf adalah area miring di bawah laut yang mengelilingi suatu kontinen pada kedalaman 200 meter. Pada ujung lereng area itu, lereng kontinen menukik ke bawah secara tajam hingga dasar laut.

Penyelesaian Kasus Ambalat
Soal hukum yang berimplikasi pada klaim dan kepemilikan blok tersebut bukan sesuatu yang mudah untuk diselesaikan. Pasalnya, kedua negara memiliki pijakan berbeda terkait klaim terhadap blok yang menyimpan kandungan minyak sekira satu miliar barel dan gas sekira 40 triliun kaki kubik itu.

Bagi Indonesia dan Malaysia, penyelesaian secara damai merupakan suatu kewajiban karena keduanya adalah peserta dari Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia tahun 1976. Dalam pasal 13 dari perjanjian tersebut menyebutkan bahwa "In case disputes on matters directly affecting them should arise, especially disputes likely to disturb regional peace and harmony, they shall refrain from the threat or use of force and shall at all times settle such disputes among themselves through friendly negotiations.". Dengan kata lain penyelesaian dengan jalan damai yaitu negosiasi harus dikedepankan dari berbagai opsi yang muncul.

Lima Opsi
Paling sedikit ada lima cara penyelesaian yang dikemukakan oleh Ikrar Nusa Bhakti, Ahli Peneliti Utama LIPI Bidang Kajian Asia-Pasifik. Pertama, penyelesaian melalui perundingan bilateral. Jika cara pertama gagal, dapat dilakukan periode pendinginan (cooling down period) dan masuk cara kedua, yaitu freez atau status-quo selama lima tahun dan baru berunding kembali. Ketiga, melalui Dewan Agung (High Council) seperti tercantum dalam Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia atau dikenal sebagai Deklarasi Bali 1976. Keempat, melalui Jasa Baik (Good Office) negara yang menjadi Ketua ASEAN Regional Forum (ARF Chair). ARF dibentuk bukan hanya untuk confidence building measures (CBM) dan preventive diplomacy tetapi juga untuk conflict resolution. Jika cara keempat tak berjalan, ada cara kelima yang dikenal dengan non-political legal solution melalui Mahkamah Internasional.[24] Kehilangan Sipadan dan Ligitan melalui Mahkamah Internasional tahun 2002 silam tampaknya membuat Indonesia mungkin enggan memilih jalur ini. Indonesia tidak akan menggunakan fasilitator pihak ketiga ataupun membawa kasus persengketaan Ambalat ini ke Mahkamah Internasional (MI) dan akan tetap menggunakan jalur diplomasi bilateral antara kedua negara. Bahkan, kedua belah pihak, Indonesia dan Malaysia, bersepakat untuk tidak menarik pihak ketiga maupun pihak internasional untuk menyelesaikan kasus. Penyelesaian secara damai melalui diplomasi bilateral menjadi jalan utama dalam menyelesaikan sengketa atas blok Ambalat. Jika memang sengketa Ambalat antara Indonesia-Malaysia harus terselesaikan melalui Mahkamah Internasional, Indonesia sebaiknya melakukan persiapan yang lebih baik dan matang agar kehilangan pada tahun 2002 silam tentang Sipadan dan Ligitan tidak terulang kembali. Dari segi hukum, meski memiliki berbagai dokumen otentik mengenai kepemilikan Blok Ambalat dan Perairan Sulawesi di utara Pulau Kalimantan, hingga kini Indonesia belum memiliki UU tentang Wilayah RI yang menetapkan secara tegas mengenai garis-garis perbatasan di darat serta di laut.

Bukan opsi
Pengerahan TNI bukan merupakan opsi untuk menyelesaikan sengketa Ambalat Indonesia-Malaysia. Penyelesaian dengan menggunakan jalur kekerasan (use of force) bukanlah merupakan suatu opsi. Hal ini dikarenakan sejak berakhirnya Perang Dunia II, hokum dan masayarakat internasional tidak lagi membenarkan perolehan atau pendudukan wilayah yang didasarkan pada penggunaan kekerasan.
Jika memang Indonesia ataupun Malaysia menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan sengketa Ambalat ini, maka pihak manapun yang terlebih dahulu menembakan peluru akan dianggap sebagai agresor. Sebagai konsekuensi dari tindakannya tersebut, agresor akan dikutuk (condemned) oleh dunia internasional dan wilayah yang direbut tidak akan diakui.

Penyelesaian Diplomasi
Penyelesaian damai melalui negosiasi dengan instrumen diplomasi akan menempuh dua fase[25]. Fase pertama merupakan fase pembicaraan untuk mengeksplorasi dan mengetahui posisi masing-masing negara atas klaim yang diajukan di blok Ambalat. Indonesia akan mengajukan klaim bahwa Indonesia memiliki klaim dengan dasar yang kuat didampingi berbagai bukti dokumen yang otentik mengenai kepemilikan Blok Ambalat dan Perairan Sulawesi di utara Pulau Kalimantan. Sementara itu Indonesia menganggap bahwa klaim yang diajuukan oleh Malaysia tidaklah kuat karena tidak memiliki dasar yan kuat (groundless/baseless). Namun, tentu saja Malaysia akan menggunakan argumentasi yang serupa pada Indonesia.
Fase kedua dalam penyelesaian damai ini adalah bagaimana kedua Negara dapat menyepakati jalan keluar dalam klaim yang tumpang tindih (overlapping claims) atas sengketa blok Ambalat. Dalam hal ini, pengalaman penyelesaian sengketa negara lain atau pengalaman Indonesia sendiri dapat dijadikan rujukan sebagai jalur alternatif dalam menyelesaikan masalah sengketa Indonesia-Malaysia. Alternatif pertama adalah Negara yang bersengketa, dalam hal ini Indonesia-Malaysia, tidak menyepakati suatu solusi tertentu dan membiarkan masalah sengketa ini tidak terselesaikan (mengambang) dengan catatan negara yang bersengketa menyepakati untuk menjadikan blok Ambalat dalam status quo. Alternatif ini ditempuh oleh negara-negara yang terlibat dalam sengketa Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan.
Alternatif kedua adalah negara-negara yang bersengkta tidak menyepakati batas-batas Negara, tetapi bersepakat untuk melakukan pengelolaan bersama (joint management) atas blok Ambalat tersebut. Alternatif ini pernah ditempuh oleh pihak Indonesia pada saat sengketa dengan pihak Australia mengenai sengketa di wilayah Palung Timor (Timor Gap). Pada saat itu Timor Timur masih satu kesatuan dengan wilayah Indonesia. Alternatif ini memiliki keunggulan. Keunggulan tersebut adalah senngketa yang terjadi tidak akan menghindari Negara yang bersengketa untuk memperoleh keuntungan sumber daya alam dari wilayah yang dipersengketakan.
Baik Indonesia dan Malaysia bersepakat untuk membentuk tim teknis dalam menyelesaikan sengketa blok Ambalat. Tim teknis ini kemudian akan bernegosiasi untuk memecahkan batas laut antara Indonesia-Malaysia. Tim teknis Indonesia untuk perundingan kasus blok Ambalat akan dipimpin oleh Arif Hayas Oegroseno, Direktur Perjanjian politik, Keamanan, dan Kewilayahan Deplu. Tim teknis ini mendapatkan dukungan dari tim penasihat dari kalangan diplomat senior dan pakar hokum internasional Indonesia. Tim penasihat tersebut terdiri dari Ali Alatas (mantan Menteri Luar Negeri RI), Prof. Dr. Hasyim Djalal (pakar hukum laut internasional, mantan dubes RI untuk Jerman), Nugroho Wisnumurti (mantan Wakil Tetap RI di PBB New York), Prof. Dr. Ny. Etty Roesmaryati Agus, S.H., LL.M (guru besar hukum laut Universitas Padjadjaran), dan Prof. Dr. Hikmahanto Juwono (guru besar pakar hukum internasional Universitas Indonesia).
Alternatif ketiga adalah, negara yang bersengketa sepakat untuk membawa sengketa mereka ke forum penyelesaian sengketa. Forum penyelesaian sengketa bisa dipilih, seperti Mahkamah Internasional, lembaga yang dibentuk oleh para pihak, bahkan forum yang disediakan oleh organisasi regional. Alternatif inilah yang juga pernah ditempuh oleh Indonesia saat bersengketa dengan Malaysia atas Pulau Sipadan dan Ligitan.
Berbagai alternatif, yang telah dijelaskan lebih awal, dapat dijadikan suatu strategi dalam bernegosiasi sehingga hasil yang akan diperoleh lebih optimal. Dalam memilih alternatif yang terbaik, para juru runding harus memperhatikan hal-hal mendasar. Pertama, bagi Indonesia sengketa blok Ambalat bukan hanya sekedar untuk mendapatkan sumber daya alam semata, seperti apa yang dilakukan oleh Malaysia. Blok Ambalat meupakan perwujudan dari wilayah kedaulatan Indonesia. Sudah sepantasnya Indonesia memperjuangkan keutuhan wilayahnya sebagai Negara yang berdaulat. Kehilangan blok Ambalat adalah wujud dari kehilangan sebagian wilayah Indonesia.
Dapat dikatakan bahwa sengketa blok Amblat ini menjadi pertaruhan bagi Indonesia untuk dapat mempertahankan kedaulatannya di wilayah lain yang sedang dipersengketakan oleh negara lain. Bila Indonesia terkesan lemah dalam menangani sengketa blok Ambalat ini, tentunya negara-negara lain yang memiliki sengketa batas wilayah dengan Indonesia akan mencontoh cara yang dilakukan oleh Malaysia. lain halnya apabila Indonesia bersikap tough dalam menghadapi masalah sengketa blok Ambalat ini. Dengan sikap ini maka negara-negara tetangga yang berbatasan dengan Indonesia baik laut dan darat tidak akan mencoba-coba untuk mempersengketakan wilayah kedaulatan Indonesia.
Kedua, tim perunding Indonesia harus memerhatikan dengan seksama suara rakyat. Jangan sampai tim perunding ataupun pengambil kebijakan tertinggi di negeri ini mengambil keputusan berdasarkan intuisi pribadi atau bahkan popularitas belaka. Rakyat di Indonesia melihat sengketa blok Ambalat lebih sebagai masalah kedaulatan dan harga diri bangsa ketimbang sekadar perebutan potensi sumber daya alam. Tim perunding ataupun pengambil kebijakan tertinggi di negeri ini jangan sampai mengambil keputusan yang didasarkan pada pertimbangan ingin memelihara hubungan baik kedua negara. Tim perunding ataupun pengambil keputusan harus menahan diri untuk bertindak ramah pada Malaysia, padahal tindakan tersebut merupakan tindakan bodoh.
Hal ketiga yang perlu diperhatikan oleh tim perunding Indonesia adalah masalah koordinasi antarinstansi. Koordinasi antarinstansi perlu untuk diperkuat. Lemahnya koordinasi antarinstansi berpotensi menjadi penyebab kegagalan Indonesia dalam berunding dengan Malaysia. Besar kemungkinannya setiap instansi yang terlibat dalam sengketa blok Ambalat ingin mengedepankan perspektifnya. Akan lebih diperparah lagi apabila kelemahan ini dimanfaatkan oleh pihak Malaysia. Perbedaan kepentingan antar instansi Indonesia ini jelas akan dimanfaatkan oleh pihak Malaysia. Bahkan, Malaysia akan mendekati salah satu instansi untuk menyuarakan kepentingannya.
Hal lain yang harus diperhatikan oleh anggota tim perunding adalah kemampuan dan keterampilan (skills) bernegosiasi. Keterampilan bernegosiasi tidaklah cukup dengan kepiawaian berbahasa Inggris ataupun memahami terminologi hukum dalam bahasa Inggris. Keterampilan lain yang harus dimiliki adalah keterampilan untuk meyakinkan lawan. Argumentasi, dasar hukum, dan bukti kadang bisa dikalahkan oleh keterampilan untuk meyakinkan. Tim perundingan juga harus mempertimbangkan dan menelusuri berbagai instrument hokum internasional, kasus-kasus yang pernah terjadi terkait masalah penyelesaian sengketa wilayah serta kemampuan untuk menelusuri dan mengoptimalkan bukti-bukti.[26]


Ketegangan Hubungan RI dan Malaysia










BAB III
KESIMPULAN

Jika salah satu dari pulau Indonesia mengalami nasib yang sama seperti Sipadan dan Ligitan, otomatis kita akan kehilangan sebagian dari wilayah kita meski kecil dibanding total luas wilayah. Pulau-pulau ini amat strategis bagi bangsa dan rawan konflik karena mereka sebagai penentu volume wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta wilayah yang potensial diduduki (dispute) karena bersinggungan dengan wilayah internasional.
















Daftar Pustaka

Artikel koran:
“RI Akan Pertahankan Kedaulatan di Ambalat”, KOMPAS, 27 Februari 2005, hlm. 1.
“Badawi: Konsesi Petronas Terletak di Malaysia”, KOMPAS, 1 Maret 2005, hlm. 1.
“Setelah Sipadan-Ligitan, Ambalat Bisa Jatuh Pula Kepada Malaysia”, KOMPAS, 2 Maret 2005, hlm. 4.
“Kapal Perang Disiagakan di Perbatasan RI-Malaysia”, KOMPAS, 3 Maret 2005, hlm. 1.
“Malaysia Ajak Indonesia Negosiasikan Perbatasan”, KOMPAS, 4 Maret 2005, hlm. 1.
“Ketegangan Perbatasan Meningkat Kapal RI-Malaysia Berhadap-hadapan”, KOMPAS, 6 Maret 2005.
“Malaysia Kembali Lakukan Provokasi”, KOMPAS, 7 Maret 2005, hlm. 1.
“Presiden Tinjau Perbatasan RI-Malaysia”, KOMPAS, 8 Maret 2005, hlm. 1.
“RI-Malaysia Sepakati Penyelesaian Damai”, KOMPAS, 10 Maret 2005, hlm. 1.
“Rencana Kerja Untuk Solusi Ambalat Disusun”, KOMPAS, 24 Maret 2005, hlm. 1.
“KRI Tedong Naga Serempetan Dengan Kapal Perang Malaysia”, KOMPAS, 10 April 2005, hlm. 1.
“Penyelesaian Damai Ambalat”, KOMPAS, 11 April 2005, hlm. 4.
“Pertahankan Hak dan Kedaulatan di Ambalat”, KOMPAS, 16 April 2005, hlm. 1.

Websites:
www.opensubscriber.com.htm
www.kompas.com.htm
www.detiknet.com
www.pdat.co.id.htm
www.perpustakaan.bappenas.go.id.htm
[1] “Setelah Sipadan-Ligitan, Ambalat Bisa Jatuh Pula Kepada Malaysia”, KOMPAS, 2 Maret 2005, hlm. 4.
[2] “RI Akan Pertahankan Kedaulatan di Ambalat”, KOMPAS, 27 Februari 2005, hlm. 1.
[3] “Badawi:Konsesi Petronas Terletak di Malaysia”, KOMPAS, 1 Maret 2005, hlm. 1.
[4] “Kapal Perang Disiagakan di Perbatasan RI-Malaysia”, KOMPAS, 3 Maret 2005, hlm. 1.
[5] “Malaysia Ajak Indonesia Negosiasikan Perbatasan”, KOMPAS, 4 Maret 2005, hlm. 1.
[6] “Ketegangan Perbatasan Meningkat Kapal RI-Malaysia Berhadap-hadapan”, KOMPAS, 6 Maret 2005.
[7] “Malaysia Kembali Lakukan Provokasi”, KOMPAS, 7 Maret 2005, hlm. 1.
[8] “Presiden Tinjau Perbatasan RI-Malaysia”, KOMPAS, 8 Maret 2005, hlm. 1.
[9] “RI-Malaysia Sepakati Penyelesaian Damai”, KOMPAS, 10 Maret 2005, hlm. 1.
[10] “Rencana Kerja Untuk Solusi Ambalat Disusun”, KOMPAS, 24 Maret 2005, hlm. 1.
[11] “KRI Tedong Naga Serempetan Dengan Kapal Perang Malaysia”, KOMPAS, 10 April 2005, hlm. 1.
[12] “Pertahankan Hak dan Kedaulatan di Ambalat”, KOMPAS, 16 April 2005, hlm. 1.
[13] http://mpat.mod.gov.my/CYBERLIBSDATA/MEDIAS/ARTICLE/1186.pdf
[14] http://www.cia.gov/cia/publications/factbook/print/id.html
[15] http://www.antara.co.id/seenws/?id=30148
[16] http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/08/opini/1604532.htm
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] http://www.suarapembaruan.com/News/2005/03/04/Utama/ut01.htm, Indonesia Punya Bukti Kuat Pemilik Sah Wilayah Ambalat, diakses 21 November 2006 pukul 19.13.
[20] http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0305/08/0804.htm, Konflik Indonesia-Malaysia Sejarah yang Berulang, diakses 21 November 2006, pukul 19.23.
[21] http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/08/opini/1604532.htm, Ambalat, Milik Siapa?, diakses 21 November 2006, pukul 19.43
[22] http://jaim.log.web.id/blogs/2005/03/000259.html, Ambalat belong to Indonesia, diakses 21 November 2006, pukul 19.49.
[23] http://www.dephan.go.id/modules.php?name=Feedback&op=printpage&opid=215, KONFLIK AMBALAT: HANYA MENGUNTUNGKAN PENJAJAH, diakses 21 November 2006,pukul 20.23
[24] www.kompas.com.htm, diakses tanggal 21 November 2006, pukul 21.00.
[25] “Penyelesaian Damai Ambalat”, KOMPAS, 11 April 2005, hlm. 4.
[26] www.perpustakaan.bappenas.go.id.htm, diakses tanggal 21 November 2006, pukul 21.00.

Tidak ada komentar: